Selasa, 12 Februari 2013

Dendam

Banyak yang hilang dari hidupku. Seolah semua musnah tanpa bekas sedikitpun. Aku mencoba memperbaiki tapi malah memperburuk keadaan. kadang aku berpikir, mungkin memang seharusnya aku tidak berharap untuk bahagia. Karena sejatinya bahagia itu tidak diharapkan tapi diusahakan. Aku terus mencoba melangkah dengan melupakan semua rasa sakit yang siap mengantarku ke jurang kematian. Bukan kematian fisik, tapi jiwa.
Tapi sampai kapan aku begini? terus terkurung dalam masa lalu sementara masa depanku terus hancur. Aku muak membahas ini, aku benci setiap kali mengingat hal ini. ingin rasanya aku muntahkan semua kekesalanku di depan mereka yang membuatku menderita. Ingin kau membuat mereka merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Dan membuat mereka menyesal.
Aku mendendam. Lebih dari sekedar dendam. Lebih dari sekadar ingin membalas. Aku menjelma menjadi karakter lemah di komik yang menjelma menjadi monster jahat yang siap menghancurkan setiap keping dan bagian tubuh musuh-musuhku agar mereka menjerit kesakitan dan musnah. Musnah. Hingga tak terlihat lagi.
Semakin aku sadar, dendamku senakin besar. Hingga aku tidak sanggup lagi membayangkan apa yang akan terjadi pada hidup ini di masa depan. Apa benar aku akan menjelma menjadi monster jahat, atau aku akan membiarkan diriku selamanya terjebak dalam posisi lemah???
Aku hanya berharap semua ini cepat berakhir.
Baca Selengkapnya →Dendam

Kamis, 24 Januari 2013

Buronan


BURONAN

J
auh dari semua yang bisa menggoyahkan imanku, dari dunia yang selalu menanggilku untuk maksiat, dan dari semua yang berusaha mengajakku membeli tiket ke neraka. Pertama kalinya aku bisa mendapatkan kebebasan untuk menikmati anugerah iman dari Allah. Dengan diriku sendiri. Disini. Aku bebas. Bukan dalam arti negatif, tapi bebas untuk mendeklarasikan keimanan kapan saja aku mau.
Aku mendiami daerah perkotaan yang selalu ramai dengan aktivitas hedonis. Mall, bioskop, kafe, diskotik, dan entah apa nama kawan-kawannya selalu menjadi unek-unek dalam diriku. Kadang aku berpikir seandainya Tsunami benar-benar meluluh-lantakan semua tempat itu seperti banjir bandang di zaman nabi Nuh, pasti akan ada sedikit perubahan di dunia ini. Tapi itu cuma khayalan. Lagipula Tsunami kan di Aceh. Tempat dimana tidak akan ada orang yang mempermasalahkan busanaku.
Entah apa yang mereka pikirkan tentangku. Ya.. kuakui aku sedikit berbeda. Tapi bukan alasan hanya karena aku menggunakan cadar mereka jadi mendapat semacam izin untuk melecehkanku. Toh aku tidak melakukan sesuatu yang haram. Dan tidak mengganggu mereka.
Tapi semuanya akan berubah mulai hari ini. Akhirnya aku mendapat SK untuk ikut bersama ummi mengurus pesantren yang didirikan oleh kakek. Tidak ada kesenjangan sosial disana, tidak ada mall, diskotik atau apapun yang membuatku jenuh. Karena menghirup aroma pesantren sejati bagiku sama saja dengan merasakan sedikit tiupan angin kecil dari surga. Walaupun sebenarnya tidak sama. Seperti yang aku rasakan ditempat ini. Udara yang segar, pohon-pohon yang rindang, jalan yang sepi. Semua terlihat sempurna disini. Perjalanan yang seharusnya menempuh waktu lama jadi terasa singkat saat aku mulai bertanya dimana aku sekarang.
“Kita sudah hampir sampai nak.” Kata sopir paruh baya yang asik dengan setir mobilnya.
Cuma itu yang aku dengar dari sopir yang disewa khusus oleh ummi untuk mengantarku ke pesantren. Susah juga mendapatkannya. Karena banyak orang yang menolak untuk mengantarku ke pesantren itu. Mungkin karena jalannya yang sangat jauh. Atau mungkin juga karena hal lain. Sopir itu terlalu pendiam. Tidak akan ada suaranya yang bisa kudengar kecuali jika aku bertanya tentang satu hal. Bahkan saat dia keluar dari  mobil untuk buang air, dia sama sekali tidak bicara sedikitpun. Tapi ya sudahlah, mungkin itu caranya untuk menghormatiku.
Lama aku menunggu sopir itu kembali. Tapi tak ada tanda-tanda dia akan kembali. Yang ada hanya daun-daun kecil yang terus menari karena disentuh oleh angin nakal yang suka bolak-balik. Sesekali daun itu melambai ke arah pohon besar di belakangnya, namun sesekali dia juga memandikan tubuhnya dengan air danau kecil yang dihuni oleh beraneka ragam hewan air tawar. Angin yang lembut, air yang jernih, dan mentari yang cerah. Semua cukup untuk menarikku keluar dari mobil pick up yang sudah mulai malas melakukan tugasnya. Aku berdiri tepat di bawah pohon mangga yang mulai memamerkan buah-buahnya. Dari sana aku disa melihat danau lebih jelas. Jelas sekali. Sangat jelas. Sejelas aku bisa melihat sebuah sampan kecil yang membawa tiga orang penumpang yang sepertinya menatap ke arahku. Mungkin mereka heran melihat orang sepertiku berada di daerahnya. Bukan masalah,  aku sudah biasa mendapat perlakuan seperti itu. Tapi sangat tidak biasa jika salah satu diantara mereka adalah sopir yang dari tadi menghilang entah kemana. Terlebih lagi..
“Lari nak!!! Cepat lari!! Ugh!!” Sopir itu berteriak kepadaku
Dia merintih kesakitan karena baru saja mendapat tendangan keras dari dua orang lainnya yang bertubuh besar dan tampak mengerikan. Bukan pemandangan yang indah dilihat ketika aku masih ingin menikmati kekayaan alam tempat ini. Tapi sepertinya benar yang dikatakan sopir itu. Lari. Aku memang harus lari. Satu orang dari mereka melompat turun dan sampan dan berlari mengejarku. Sedangkan yang lainnya berusaha mengencangkan tali pengikat yang melingkar di tubuh sopir malang itu dan menyambungkannya ke tali sampan agar sopir itu tidak bisa lari.
Entah apa salahku. Kedua orang itu terus mengejar. Tak peduli berapa banyak ilalang yang mereka lewati, tak peduli dengan ranting-ranting pohon yang dengan gampang ditebasnya menggunakan pedang panjang seperti samurai. Astaghfirullah. Apa yang terjadi?
Aku terus berlari melintasi jalan sepi yang dipenuhi oleh teriakan minta tolongku. Tapi percuma. Siapa yang akan mendengar. Tempat ini sepi. Yang terlihat di depanku hanya sebuah jalan lurus yang tidak akan ada habisnya. Dan aku akan tamat jika tetap berlari di jalan itu. Karena saat aku melihat ke belakang, pemburu—begitu aku menyebut mereka—berkumis tebal  itu berhasil mengayunkan pedangnya tepat kearah leherku. Dan..pedang itu tertancap. Tepat mengenai batang pohon mangga  yang hampir ada disepanjang jalan. Nyaris saja aku tewas jika aku tidak terjatuh akibat tidak sengaja menginjak ujung rokku yang terlalu panjang. Kali ini aku bersyukur. Aku kembali bangkit sementara pemburu itu sibuk mencabut kembali pedangnya.
Tapi belum sempat tubuhku berdiri sepenuhnya, pemburu yang satu lagi sudah siap dengan kayu pemukulnya. Aku kembali merunduk. Namun sayangnya pemburu itu lebih cepat dari yang bisa kubayangkan. Pukulannya berhasil mengenai lengan kiriku. Dan sakitnya terasa sampai ke ubun-ubun. Sepertinya pemburu itu serius ingin membunuhku. Belum puas dengan itu, kali ini dia mengambil pedang dari temannya dan mengambil ancang-ancang untuk menancapkan pedang itu di kepalaku. Aku terperangah. Berpikir ini adalah akhir dari hidupku yang belum tentu kemana arahnya. Bayangan kehidupan yang tenang bersama ummi di pesantren kini hancur sudah. Jika ini adalah detik terakhir dalam hidupku, Ya Allah.. izinkan aku mati dengan cara yang lebih baik.
“Aaaaaaghh.....”
Ugh..aku terjatuh kebawah tebing yang membatasi jalan dengan hutan. Tubuhku terguling, terlempar, dan tersangkut beberapa kali di ranting pohon yang akhirnya tetap patah karena tertimpa tubuhku. Beberapa kali aku merasa sakit tak tertahan di lengan kiriku yang sempat merasakan pukulan keras pemburu itu. Aku pikir mungkin ini cara mati yang lain yang disiapkan Allah untukku. Tapi aku masih belum mau mati. Kupaksakan tubuh ini berbalik agar aku bisa melihat sesuatu yang bisa kupegang. Sayangnya yang kulihat hanya sebuah pohon besar tepat dihadapanku. Ups.. punggungku terpukul ke batang pohon besar itu. Sakit. Tapi cukup untuk menghentikan penderitaan ini. Terima kasih Ya Allah. Aku masih hidup.
Seluruh tubuhku terasa sakit. Nyeri di tangan kiriku semakin terasa saat aku melihat beberapa tetes darah segar jatuh ke tanah. Aku mencoba berdiri untuk melihat si pemburu yang berada di atas tebing sebelum aku jatuh ke bawah. Tapi tak ada yang bisa dilihat dari sini. Tidak tebing itu, tidak juga si pemburu. Semuanya tertutupi oleh pohon-pohon besar di hutan ini. Akhirnya aku merasa aman. Untuk sementara. Paling tidak sampai aku sadar bahwa tempat aku terkulai lemah sekarang sama berbahayanya dengan si pemburu gila itu. Aku ingin segara pergi dari sini. Tapi aku terlalu lelah. Sangat lelah sampai aku tidak sanggup lagi membuka mata.


            Sungguh aneh. Apalagi ini? Baru saja aku terjebak di hutan mengerikan dengan tubuh yang sangat lemah. Kini aku terbangun di sebuah ruangan kecil dengan satu tempat tidur dan satu meja kecil disampingnya. Aku mencoba untuk bangun. Dan rasa nyeri di lengan kiri mengingatkanku pada si pemburu yang berusaha membunuhku. Terlintas pikiran aneh dibenakku. Jangan-jangan pemburu itu menemukanku? Dan sekarang.. aku disekap. Keringat dingin mengucur deras dari tubuhku. Apapun itu yang dalam pikiranku saat ini, aku tidak peduli. Aku harus keluar dari tempat ini.
            Aku melangkah keluar sembari memegang lenganku yang masih belum mau berhenti merengek. Perlahan aku berjalan mendekati pintu. Hanya untuk melihat situasi, aku mengintip dari lubang kunci untuk memastikan tidak ada orang diluar ruangan. Aku berusaha sepelan mungkin untuk membuka pintu agar tidak menimbulkan suara. Tapi belum jadi kenop pintu kutarik, pintu malah terbuka dengan sendirinya. Atau tepatnya sengaja dibuka oleh seseorang. Sontak aku terkaget dan dengan refleks aku mundur ke belakang pintu. Anggap saja sembunyi. Aku berusaha mencari sesuatu yang bisa kugunakan untuk melindungi diri jika si pemburu melihatku. Tapi yang terjadi malah diluar perkiraan.
“Istirahat saja dulu. Tidak usah buru-buru keluar. Aku akan siapkan makanan untukmu.” Kata seorang lelaki yang sudah pasti bukan pemburu itu.
Aku kaget mendengar suara itu, sekaligus juga lega. Aku penasaran dengan orang itu. Kalau bukan si pemburu, siapa dia? Dan kenapa aku ada di rumahnya? Aku kembali membuka pintu yang sudah ditutupnya. Aku melangkah keluar ruangan tempat tadi aku terbaring di sana. Aku melihat keseluruh ruangan. Tidak terlalu besar. Hanya ada satu kamar dan satu ruangan yang digunakan sebagai dapur. Lelaki itu berdiri disana. Dia terlihat sibuk dengan aktivitasnya. Dia mengambil sebuah piring dari rak piring yang ada disampingnya. Hanya ada dua piring di sana, satu gelas, dan satu buah mangkok kecil. Aku terus menatap ke arahnya. Berusaha mengetahui kalau dia memang bukan salah satu dari dua pemburu itu.ternyata memang bukan. Saat dia memalingkan tubuhnya dan aku bisa melihat wajahnya.
“Makanlah ini. Cuma sedikit tapi cukup untuk malam ini.” Katanya seraya berlalu untuk meletakkan sepiring nasi dengan satu buah kerupuk dan satu gelas air putih.
Aku terkaget mendengar dia bicara. Malam? Ini sudah malam? Sebenarnya berapa lama aku tidak sadar? Sudahlah, yang penting sekarang aku selamat. Terus terang aku ragu untuk memakan makanan itu. Aku berada dirumah seorang lelaki yang tidak aku kenal, dan dia memberi aku makanan. Siapa yang bisa menjamin makanan itu aman. Aku tetap berdiri mematung di depan pintu kamar seraya merintih kesakitan karena luka akibat pertempuran itu. Dia berlalu begitu saja tanpa berusaha meyakinkanku sekali lagi untuk memakan makanan itu. Aku melihatnya mengambil sebuah sarung dari gantungan baju dan mengantungkannya di leher. Dia berjalan menuju pintu belakang untuk membersihkan sandalnya yang penuh dengan lumpur.
“Kamu boleh menginap disini malam ini. Jangan keluar dari rumah kalau kamu tidak mau mengalami kejadian seperti tadi siang. Khusus untuk kamu lingkungan ini sangat tidak aman. Kalau mau berwhuduk kamar mandinya ada di sebelah kamar itu.” Katanya sebelum membuka pintu dan akhirnya meninggalkanku begitu saja.
Aku tertegun melihat sikapnya. Bagaimana mungkin ada orang sedingin itu. Setidaknya dia harus khawatir jika aku kabur dan mencuri barang-barang di rumahnya. Yaah..sebenarnya tidak ada yang bisa dicuri sih. Aku mencoba berpikir positif tentang hal ini. Jika dia bukan orang yang baik, tidak mungkin dia pergi begitu saja setelah memberiku makanan dan jika dia adalah kawanan pemburu itu, sangat bodoh jika dia tidak membunuhku saat ini juga. Aku tidak mau berlama-lama dalam ketakutan ini. Satu hal yang aku tahu sekarang, aku lapar.
Entah kenapa ada suasana lain yang aku rasakan di rumah ini. Terasa menyenangkan dan damai. Tenang. Hening. Tempat yang memberi kebebasan seluas-luasnya untuk bermunajat kepada Allah. Kuhabiskan malam ini dengan dzikir dan tahajjud. Aku terlena dengan keheningan malam sampai tidak kusadari azan subuh mulai berkumandang ditemani udara langit yang sangat segar. Aku berlalu dalam kekhusyukan  ibadah yang sudah lama tidak aku dapatkan.
Malam berlalu. Subuh berakhir dan cahaya pagi mulai menyapu lantai rumah yang menerobos masuk melalui jendela yang baru saja kubuka. Ada beberapa debu yang menempel dibingkai jendela. Sudah lama tidak dibersihkan. Begitu juga rumahnya. Dan sepertinya sangat wajar jika aku sedikit berbaik hati untuk membersihkannya. Kuambil sapu yang disandarkan di belakang pintu kamar. Aku mulai dengan pekerjaan melelahkan yang entah kenapa hari ini terasa begitu menyenangkan. Aku terlalu asik dengan sapu dan debu-debu itu sampai aku sadar kalau dari tadi ada seseorang yang mengetok-ngetok pintu belakang.
Aku kaget dan pucat mendengar suara ketukan pintu itu. Sepertinya orang itu adalah pemilik rumah yang semalam pergi begitu saja. Tapi ada juga kemungkinan itu adalah orang lain, karena si pemilik rumah tidak bilang kalau dia akan kembali. Aku berjalan kearah pintu dan tentu saja dengan sapu yang kapan saja siap dipukulkan jika itu adalah orang yang mencurigakan. Tangan kiriku perlahan membuka kenop pintu dan tangan kanan siap dengan sapunya. Dan..
“Assalamu’alaikum...” sapa si pemilik rumah.
Huft. Syukurlah bukan orang yang mencurigakan. Dia berlalu masuk ke rumah dengan membawa sebuah kantong kresek yang entah apa isinya. Dia terlalu dingin. Bahkan dia tidak peduli dengan suaraku yang gemetaran saat menjawab salamnya. Aku berjalan dibelakangnya. Sedapat mungkin berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Aku terus melihat kearah kakinya agar tau kemana dia melangkah. Tapi dia malah berhenti mendadak didepanku. Dan itu berhasil membuatku kaget.
“Oleskan ini di luka tanganmu dan makanlah roti itu. Cuma itu yang ada.” Katanya saat dia menyerahkan kantong kresek itu. Sekarang aku tahu apa isinya.
Aku melihat dia masuk ke kamarnya dan mengunci kamar itu dari dalam. Entah apa yang dia lakukan. Sedangkan aku cuma bisa duduk di sudut ruangan. Aku mencoba mengambil roti yang ada di dalam kresek itu saat dia keluar dari kamarnya. Sontak aku kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan roti itu ke lantai karena terlalu gugup. Dia hanya melihat. Tanpa ekspresi sedikitpun. Dan aku malu.
Dia terlihat lebih rapi dari sebelumnya. Dengan baju daster putih dan syal yang melingkar di lehernya. Serta yang jadi perhatianku adalah sebuah kitab tebal yang disandang di tangannya. Terlihat seperti seorang ustadz muda yang tampan. Oh tidak. Apa yang aku pikirkan. Aku berpaling darinya. Begitu juga dia yang berpaling untuk mengambil satu buah kitab lagi dari rak bukunya. Aku tahu yang diambilnya adalah kitab Fathul Mu’in, kitab fiqh yang digunakan pengikut imam Asy-syafi’i. Kitab yang sering kubaca. Siapa sebenarnya orang ini? Aku benar-benar ingin tahu. Tapi aku terlalu malu untuk bertanya. Dia memiliki kharisma luar biasa. Seperti yang dimiliki oleh orang-orang besar karena ilmunya. Walaupun sedikit dingin.
“Dari mana asalmu? Kemana tujuanmu?”  Tanyanya sambil membolak balik kitab di tangannya.
“Pesantren Al-fitrah.” Jawabku singkat.
Dia tertegun. Seolah mengetahui pesantren itu. Dia kembali memeriksa lagi kitab-kitabnya setelah sebelumnya dia sempat menoleh kearahku.
“Aku tidak tahu kalau santri pesantren itu menggunakan cadar.” Katanya lagi.
Aku kaget mendengar ucapannya. Dari semalam seolah dia penasaran dengan cadarku.
“Lalu kenapa? Apa aku hanya boleh menggunakannya jika diperintah oleh pesantren? Siapapun berhak menentukan cara berbusana yang dia inginkan selagi itu tidak berlawanan dengan syari’at Islam. Dan aku pikir ini privacy bukan perintah instansi.” Jawabku yang lebih panjang dari sebelumnya.
Dia terdiam mendengar ucapanku. “Kamu lebih cerewet dari kelihatannya.” Katanya dengan gaya sedikit sombong.
“Dan kamu lebih dingin dari kelihatannya.” Jawabku kesal.
Kali ini dia sudah selesai dengan kitab-kitabnya. Dia siap untuk pergi ke sebuah tempat untuk berdakwah. Sepertinya. Tanpa alasan jelas dia menutup jendela yang tadi sengaja kubuka untuk membiarkan udara masuk ke rumah. Dia pergi melewati pintu belakang dan memintaku untuk menguncinya dari dalam. Dia juga memperingatkanku untuk tidak keluar dari rumah jika aku ingin tetap aman. Aku ingin bertanya kenapa, tapi dia sudah menghilang di balik pepohonan.
Tak pernah kubayangkan ini akan terjadi padaku. Terjebak di tempat asing tanpa tahu sampai kapan aku akan bertahan disini. Ummi, pesantren dan bayangan indah angin surga yang kuharapkan seolah menjauh dari pikiranku saat ini. Yang ada hanya ketakutan, penasaran dan rasa ingin tahu yang teramat besar tentang pemilik rumah bergaya ustadz. Entah kenapa dia tetap menahanku disini. Bukankah lebih baik kalau dia menyuruhku saja untuk pergi ke pesantren.
Tidak banyak yang bisa aku kerjakan di rumah ini. Sebuah rumah kecil dengan peralatan yang sangat minim. Hanya ada satu tikar di lantai rumah, satu rak buku kecil yang dipenuhi oleh kitab-kitab tua dan beberapa debu di sana-sini. Itulah yang bisa kulakukan. Membersihkan seisi rumah dan menyusun kitab sesuai dengan ukurannya. Berulang kali melakukan hal yang sama. Hingga aku melihat setumpuk pakaian kotor di sudut kamar. Tidak terlalu lama waktu yang aku butuhkan untuk membersihkan pakaian itu. Akhirnya kuputuskan untuk membaca beberapa kitab yang membuatku penasaran itu.
Waktu berlalu begitu cepat saat kita bisa menikmati apa yang sedang kita kerjakan. Itu yang aku rasakan sekarang. Hanya dalam hitungan jam malam akan datang. Dan ini akan jadi malam kedua dimana aku terlelap di tempat asing. Tapi pemilik rumah itu belum juga datang. Aku pikir dia akan pulang untuk mengantar makanan atau untuk mengambil sarung seperti malam sebelumnya. Atau dia kehabisan uang untuk membeli roti sampai tidak berani pulang. Kedengarannya lucu sih, tapi bagaimana jika memang itu yang terjadi. Aku mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang berguna. Setidaknya sebagai rasa terima kasih karena aku sudah diizinkan istirahat di rumah ini.


Dia pulang sesaat sebelum azan maghrib menggema. Tidak seperti biasanya, sekarang aku yang datang membukakan pintu untuknya. Mengucapkan salam dan mempersilahkannya mencicipi masakan yang baru saja selesai aku buat. Dia terkejut saat melihat semua makanan itu.
“Darimana kamu dapatkan ini?” tanyanya dengan suara parau.
“Uhmm.. dari belakang.” Jawabku ragu takut kalau-kalau sudah melakukan kesalahan
Dia hanya diam untuk beberapa saat. Dari ekspresinya aku tahu bahwa aku sudah melakukan sebuah kesalahan. Tapi sepertinya dia bukan orang yang mau menyalahkan orang lain begitu saja. Dia hanya mengucapkan terima kasih saat aku memintanya untuk mencicipi makanan yang aku sajikan. Sepiring nasi hangat dengan tumis daun singkong yang terlihat segar. Aku juga tidak mau ketinggalan menikmati makanan itu. Walaupun ini pertama kalinya aku memakan daun singkong. Tapi mau bagaimana lagi cuma itu yang ada di belakang rumah.
Makan malam ini terasa begitu nikmat. Bukan karena masakanku yang enak, tapi lebih karena pemilik rumah yang begitu menikmati makananku. Aku merasa sangat dihargai dengan sikapnya. Walaupun terkadang aku jengkel juga dibuatnya. Suasana hening menjadi teman kami sepanjang waktu makan. Aku mencoba menghalau keheningan dengan bertanya padanya.
“Kenapa aku ada disini? Kenapa aku tidak boleh keluar? Dan kenapa kamu selalu pergi setiap malam, kembali saat pagi dan pergi lagi?” tanyaku bertubi-tubi.
Aku menunggu jawaban darinya. Tapi setelah beberapa menit berlalu tidak satupun suaranya yang bisa kudengar.
“Kenapa tidak dijawab?” Tanyaku lagi.
“Karena aku sedang makan.” Jawabnya datar
Aku semakin jengkel. Aku berdiri dengan membawa piring makanku yang sudah kosong dan membersihkannya di dapur. Aku berlalu begitu saja ke kamar tanpa menoleh kearahnya. Aku pikir dengan ini bisa membuatnya mengerti bahwa aku sedang kesal. Konyol. Aku bertingkah aneh di depan orang yang tidak aku kenali. Tapi saat aku mulai memasuki kamar aku mendengar dia memintaku untuk tidak keluar dari kamar. Tepatnya itu perintah. Aku semakin kesal. Tidak biasanaya aku diperlakukan seperti ini oleh seorang lelaki. Mungkin juga karena aku memang jarang bicara dengan laki-laki.
Aku terkulai lemah di ranjang dan bersandar ke dinding kamar. Aku mencoba membayangkan apa yang ada dipikiran ustadz muda aneh yang membawa, menahan, dan membuatku kesal di rumahnya. Sempat aku berpikir untuk pergi saja dari rumah ini. Tapi trauma terhadap si pemburu masih belum pulih sepenuhnya. Lagipula aku merasa seperti betah di rumah ini. Entah apa sebabnya. Mendadak aku merasa lengan kiriku sudah mulai kesakitan lagi. Aku ambil obat yang tadi diberikan pemilik rumah agar bisa kuoleskan di lenganku. Tapi baru aku ingat kalau obat itu masih berada diluar. Sontak aku berdiri menuju pintu. Belum sampai di pintu kamar aku mendengar suara beberapa orang di ruang tamu. Sangat pelan dan tidak jelas yang mereka bicarakan. Kucoba mengintip dari lubang kunci untuk tahu apa yang terjadi. Aku melihat pemilik rumah itu berdiri di pintu depan bersama tiga orang lainnya. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu. Wajah mereka terlihat tegang seolah sedang menahan amarah yang sangat besar. Tapi si pemilik rumah tetap tenang dan mencoba mengendalikan keadaan.
Lama aku memperhatikan mereka bicara. Tapi tetap saja aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya muncul seorang lelaki bertubuh besar dengan kumisnya yang tebal. Astaga. Aku terperangah dan mencoba memutar kembali ingatanku beberapa hari yang lau. Aku tahu siapa orang itu. Orang yang mengikat sopir di sampan, orang yang mengejarku mati-matian dan orang yang berusaha membunuhku. Dia si pemburu.
Apa ini? Kenapa dia ada di disini? Apa hubungan mereka dengan pemilik rumah ini?
Mendadak aku merasa pusing. Nafasku sesak dan sakit akibat pertempuran hari itu kembali terasa saat aku melihat si pemburu. Tapi aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Setidaknya untuk memastikan keselamatan jiwaku jika aku tetap bertahan di rumah ini. Kuambil gelas berisi air putih yang tadi sengaja aku bawa ke kamar. Sekejab kuminum habis semua air di dalamnya untuk menghilangkan ketegangan lalu kugunakan gelas itu dengan menempelkannya di pintu untuk membantu mendengar pembicaraan mereka. Cara kuno waktu kecil yang kurasa ada manfaatnya juga untuk saat ini. Memang tidak begitu jelas, tapi cukup untuk bisa mengerti inti pembicaraan mereka.
“Ingat saja. Jika kamu memperlihatkan gerakan seperti melindungi manusia bejat itu, kami yang akan memutuskan waktu kematianmu!!” Kata si pemburu dengan sangat tegas.
Pemilik rumah itu masih sangat tenang mendengar ucapan pemburu itu. “Kalian melupakan sesuatu. Tidak ada seorangpun yang mempunyai ilmu tentang kematian seorang makhluk kecuali Dzat yang menciptakannya. Ilmu seperti apa yang kalian pelajari hingga kalian berani menyamai ilmu Allah. Ketahuilah, kalian tidak akan mampu untuk itu.” Katanya dengan nada yang sangat tenang.
Pemburu itu semakin naik darah. Perkataan pemilik rumah cukup untuk membangkitkan gairah membunuhnya. Nyaris dia berhasil memukul kepala pemilik rumah jika saja tangannya tidak ditahan oleh kawannya. Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi karena tidak berhasil mendapatkan apa yang mereka inginkan. Terlebih lagi pemilik rumah itu bukan orang sembarang yang bisa mereka taklukan begitu saja. Sudah kubilang, dia memiliki kharisma yang luar biasa.
Aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar setelah memastikan kawanan pemburu itu tidak kembali ke rumah.
“Itu jawabannya.” Kata pemilik rumah.
“Apa?” Tanyaku kebingungan.
“Jika kamu tidak masuk ke dalam kamar, hidup kamu akan berakhir hari ini.” Tukasnya padaku.
“Tidak ada seorangpun yang mempunyai ilmu tentang kematian seorang makhluk kecuali Dzat yang menciptakannya. Ilmu seperti apa yang kamu pelajari hingga kamu berani menyamai ilmu Allah. Ketahuilah, kamu tidak akan mampu untuk itu.” Ucapku persis seperti yang dia katakan pada pemburu itu.
Suasana hening kembali menjadi dinding penghalang pembicaraan kami. Dia diam. Aku juga. Cukup lama sampai azan maghrib memecah keheningan kami. Dari wajahnya aku tahu kalau dia tersudut dengan kata-katanya sendiri. Entah apa yang dia pikirkan. Tapi yang pasti, aku menang.
“Ini bukan waktunya tertawa untuk orang yang nyawanya sedang terancam seperti kamu.” Katanya setelah melihat aku tersenyum kecil. Entah bagaimana dia tahu aku tersenyum, aku kan pakai cadar.
“Istirahatlah malam ini. Besok kita akan sibuk.” Ucapnya sebelum berlalu menuju pintu belakang.
“Paling tidak kamu bisa jelaskan dulu apa yang terjadi disini.” Pintaku padanya.
“Tidak ada waktu untuk itu. Jangan keluar rumah malam ini. Kamu akan jadi santapan orang-orang itu.” Katanya dengan nada yang lebih serius.
Aku tertegun mendengar ucapannya. Sungguh aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga tidak ingin berlama-lama di tempat yang sudah pasti menunggu nyawaku melayang.
“Lalu apa jaminannya aku akan aman di rumah ini?” Tanyaku kesal.
“Tunaikanlah shalat dan tenangkan pikiranmu. Aku akan kembali setelah shalat isya dan menjelaskan semuanya.” Katanya seraya berlalu dari hadapanku. Seperti biasa dia keluar lewat pintu belakang. Dengan  sarung di leher dan baju gamis putih yang setia bersamanya.


Malam ini aku merasa waktu semakin lama berputar. Mungkin karena aku mulai merasakan bahaya yang sangat besar yang perlahan-lahan mulai mendekat. Sekarang aku mengerti bahwa keadaannya sangat berbahaya. Aku tidak bisa lagi berpikir seperti dulu saat aku bisa jengkel dan marah jika ada yang mengganggu. Karena pengganggu yang satu ini mengincar sesuatu yang lebih dari sekedar kemarahanku saja. Nyawa. Tapi ini kedengaran mustahil. Hanya karena aku menggunakan cadar aku jadi punya harga untuk dibunuh.
“Pernah ada yang menyalahgunakannya untuk sesuatu yang haram. Perlu kamu tahu. Wilayah ini dikenal dengan peradaban Islam yang tinggi. Ajaran Islam diwarisi secara turun temurun kepada seluruh masyarakat. Tidak ada satupun diskriminasi yang terjadi pada orang-orang yang mendiami daerah ini. Dan tidak akan ada hukum yang berjalan kecuali setelah diputuskan oleh aturan Islam. Setiap hari hanya ada kedamaian. Semua orang saling menopang untuk menciptakan tanah Islam yang rukun.” Jelas si pemilik rumah.
Cerita itu kedengaran mustahil bagiku yang nyaris mati karena kekejaman masyarakat dari daerah ini. 
“Semua berubah setelah kejadian itu.” Lanjutnya singkat
Aku tersentak. “Kejadian..apa?” Tanyaku berusaha menyembunyikan kebingungan.
“Kami kedatangan warga baru. Dua orang perempuan muslimah yang sangat sopan dan baik budinya. Sangat mudah untuk mereka bisa beradaptasi dengan segala hal yang ada di lingkungan ini. Semua orang menyegani mereka. Kebaikan budinya membuat kedua orang ini mendapat tempat khusus dalam kepengurusan masjid. Mereka menikmatinya. Begitu juga semua warga. Tapi pada akhirnya tidak akan ada kebohongan yang tersembunyi selamanya. Perlahan-lahan waktu juga yang menunjukkan pada kami kengerian dua orang itu.” Katanya dengan nada yang agak tidak stabil.
“Kengerian?” tanyaku penasaran.
“Siapa yang tidak akan tertipu dengan sikapnya. Siang hari mereka begitu anggun dan menjadi buah bibir manis masyarakat. Tingkahnya dijadikan teladan oleh setiap orang tua yang mendidik anaka-anaknya. Persis seperti malaikat yang ada dalam imajinasi setiap anak. Tapi sebaliknya, malam hari mereka menjelma menjadi iblis bejat yang seolah tertawa licik dibalik kepercayaan kami pada tingkat keimanan mereka. Ini akan terdengar mustahil di telingamu. Tapi inilah kenyataannya. Fakta mengerikan yang membuat semua warga desa ini enggan menerima warga baru seperti apapun baiknya mereka. Apalagi untuk orang seperti kamu. Jangankan untuk berdiam di daerah ini, melewati jalan ini saja tidak banyak yang selamat.” Jelasnya lebih lanjut.
Aku tidak begitu mengerti apa yang dikatakannya. Terlalu berbelit-belit. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain tetap mendengar penjelasannya.
“Mereka tertangkap basah oleh warga saat membiarkan beberapa orang pria hidung belang masuk ke rumahnya.  Setelah kejadian ini mungkin lebih tepat jika disebut mengajak. Lebih dari itu, tidak ada seorangpun yang akan menyangka ada banyak wanita penghibur di dalam rumah itu. Kamu pasti bisa mengerti apa yang terjadi disana. Warga yang kecewa kehilangan akal sehatnya. Mereka merasa dipermalukan tepat di depan matanya sendiri. Tidak ada lagi warga yang mampu berpikir positif setelah melihat kejadian ini dan tidak ada satupun dari mereka yang berusaha mencegah saat salah satu dari warga yang bertindak diluar batas normal.”
“Kamu tahu? Pertama kalinya mala petaka besar menyentuh wilayah ini. Pertama kalinya terjadi tindakan amoral disini. Dan membantai mereka malam itu juga dirasa wajar sebagai bayaran atas perlakuan busuk mereka.” Katanya denagn bibir bergetar.
Aku bisa memahami bahwa dia masih menyimpan kekecewaan malam itu. Akhirnya aku bisa mengerti alasan kenapa semua ini terjadi. Tidak ada orang yang bisa menerima perlakuan asusila itu.
“Tapi apa hubungan semua ini denganku? Aku bukan salah satu dari mereka. Kenal saja tidak.” Tegasku padanya karena merasa ini tidak adil untukku.
Dia hanya menunduk lemah mendengar ucapanku. “Mereka sama seperti kamu. Begitu sopan, anggun, terlebih keduanya menggunakan cadar. Penampilan yang sangat menipu. Bahkan untukku yang menaruh hati pada salah satu diantara mereka. Hanya saja mereka tidak cerewet seperti kamu.” Jelasnya diiringi senyum kecil yang manis. Yang membuatnya terlihat lebih tampan dari saat pertama aku bisa melihat wajahnya.
“Lalu kenapa kamu malah cari masalah dengan membiarkanku tinggal di rumahmu?” Tanyaku penasaran.
“Aku hanya tidak tega melihat orang sekarat terkapar sendirian di hutan.” Jawabnya tanpa rasa bersalah
Aku terlena mendengarnya. Walaupun terasa menjengkelkan. Setidaknya sekarang aku tahu apa yang dia rasakan. Tidak mudah jika kita dikecewakan oleh orang yang kita sukai. Seandainya perempuan itu mengetahui perasaan orang ini, dia akan menjadi wanita yang beruntung karena mendapatkan orang sebaik dia. Lelaki yang selalu menundukkan pandangannya. Sepertinya aku terlalu terbawa perasaan saat mencoba memahaminya. Aku sangat terkejut saat beberapa orang mendobrak paksa pintu rumah bagian depan. Begitu juga pemilik rumah. Ternyata mereka adalah kawanan pemburu yang tadi mencurigai aku ada di rumah ini. Sontak mereka terlihat puas saat tahu memang aku yang ada dihadapannya. Matanya terlihat seperti mata harimau yang siap menerkam rusa kecil untuk dijadikan santapan malamnya.
Sekejap pemilik rumah berdiri di hadapanku. Dengan setengah berbisik dia menyuruhku untuk kabur lewat pintu belakang. Dia mencoba menjelaskan pada pemburu itu bahwa aku tidak seperti yang mereka perkirakan. Tapi semua sudah terlambat. Keberadaanku di rumah ini berdua saja bersamanya layak dijadikan bukti valid untuk menghujani kami dengan fitnahan keji pemburu itu. Sayangnya, belum sempat aku beranjak salah seorang warga itu sudah berada tepat di depan pemilik rumah dan memukul perutnya dengan pukulan yang sangat menyakitkan. Dia roboh seketika warga lainnya berusaha menarikku. Aku menjerit. Tapi tiba-tiba orang itu tersungkur di kakiku. Ternyata pemilik rumah sengaja menarik kakinya. Dia bangkit segera seraya mendorong tubuh warga lain agar jatuh membentur tubuh teman-temannya.
Dengan wajah tegang dan pucat dia gunakan kesempatan itu untuk menarikku ke pintu belakang agar kami bisa kabur. Walaupun sebenarnya kami harus siap dengan tamu yang menunggu di pintu belakang. Mereka tahu bahwa itu jalan satu-satunya untuk kami agar bisa keluar rumah. Kami dikepung. Beberapa orang yang terlihat masih muda maju ke dalam rumah dengan mengayunkan celurit tajamnya kearahku. Untung saja si pemilik rumah itu sempat mendorong kepalaku ke bawah hingga aku selamat dari sabetan celurit itu, tapi aku kurang beruntung karena dia mendorong terlalu keras. Akibatnya kepalaku membentur ke tiang pintu. Ups,, sakit.
Pemuda lainnya tidak mau diam saja melihat temannya gagal membunuhku. Dia mengambil sebuah kayu pemukul yang keras untuk menghantam kepalaku. Tapi gerakannya terlalu lambat untuk ukuran orang semuda itu. Dia tidak lebih cepat dari pemilik rumah yang dengan gampang bisa membelah dua kayu itu tepat di depan wajahku menggunakan celurit yang dia pinjam secara paksa dari pemuda sebelumnya. Secepat kilat, dia menggunakan tangkai celurit untuk memukul pundak pemuda itu hingga ia tersungkur ke lantai. Kami berlari ke hutan belakang rumah secepat mungkin. Secepat yang aku bisa karena aku harus menyesuaikan langkah dengan kakinya yang sangat cepat.
Hutan itu lebih banyak ditumbuhi oleh semak belukar yang tinggi dari pada pohon-pohon besar seperti hutan sebelumnya tempat aku terjatuh dari tebing. Pemilik rumah itu—yang belum kutahu namanya—menyuruhku berlari di depannya. Sementara di belakangku dia sibuk memperbaiki lagi semak-semak yang rebah karena terinjak oleh kaki kami. Dia berjalan mundur agar tidak merusaknya lagi supaya para pemburu tidak tahu jalan yang kami lewati. Bisa kubayangkan betapa sulitnya melakukan itu. Apalagi malam ini bulan tidak muncul untuk menerangi langkah kami. Tapi itu lumayan membantu juga agar pemburu-pemburu yang salah paham itu  kesulitan menemukan kami.
Jauh dibelakang, aku mendengar teriakan beberapa orang dari pemburu itu yang menjerit kesakitan. Aku menatap pemilik rumah berharap mendapat penjelasan tentang hal ini. Tapi dia malah memerintahku untuk tetap berlari dan tidak menoleh ke belakang. Sekarang aku mulai berpikir bahwa dia telah mempersiapkan semua ini. Jalan kecil di hutan yang seolah sudah diatur menuju ke satu tempat yang telah diperhitungkannya. Juga jebakan-jebakan kecil yang akan menyibukkan para pemburu itu selagi kami melarikan diri. Diluar dugaan, dia orang yang sangat cerdas. Tapi cerdas saja tidak cukup karena sekarang kami sudah ada di ujung jalan.
Aku khawatir kalau dia kehabisan ide. Tapi memang begitu kelihatannya. Dia tidak menduga kalau jalan yang dibuatnya akan berakhir disini. Di depan kami hanya ada jurang terjal yang dibawahnya terdapat banyak batu-batu besar yang sama mengerikannya dengan para pemburu. Aku mulai putus asa. Itu wajar, karena dua orang pemburu sudah menemukan persembunyian kami. Merekalah orang-orang hebat yang sukses besar lolos dari jebakan yang dihadiahkan khusus untuk mereka. Walaupun sebenarnya itu adalah jebakan yang biasa digunakan untuk menjebak babi hutan yang sering mengganggu ladang. Begitu kata pemilik rumah saat melihat tampang kesusahan pemburu itu. Aku heran dia masih bisa bercanda di saat seperti ini. Dan itu hanyalah tindakan bodoh sekaligus konyol yang akan memancing emosi para pemburu.
Yap. Benar saja. Tanpa membuang waktu pemburu yang menggenggam samurai panjang melayangkan pedangnya ke arah pemilik rumah. Sementara pemburu satunya lagi menggunakan kesempatan itu untuk memukulku dengan tangkai besi yang disiapkannya. Si pemilik rumah berusaha mendorongku ke samping agar terhindar dari pukulan setelah dia menangkis samurai itu dengan kakinya. Tapi tidak banyak yang berubah dengan itu. Pukulan besinya terlalu cepat dan kuat. Tepat mengenai titik mati lengan kiriku. Aku menjerit kesakitan, tubuhku kesemutan dan untuk beberapa saat aku tidak bisa merasakan seluruh tangan kiriku.
Pemburu itu terlihat senang dengan keberhasilan misinya. Tapi sebaliknya si pemilik rumah mendadak menjadi sangat mengerikan saat mendengar aku merintih kesakitan. Tidak peduli siapa yang dia hadapi, tanpa senjata, secepat kilat dia maju menghadang kedua pemburu itu. Satu tendangan di dada, satu pukulan di perut, dan pukulan siku super keras yang mengarah langsung ke jantung pemburu yang memukulku. Pemburu itu terperangah tak sadarkan diri di atas tumpukan semak-semak dengan darah yang menyumbur dari mulutnya. Dia berhasil merobohkan pemburu itu.
“Aaaaaaghhhh...” Aku menjerit kesakitan. Kali ini lebih sakit dari yang sebelumnya. Karena pemburu yang masih bertahan mencengkeram lengan kiriku sekuat yang dia bisa. Aku jadi mati rasa. Tanganku serasa mau putus.
“Menyerahlah brengsek!! Aku bisa membunuhnya kapan saja aku mau! Kalian sudah terlalu jauh melampaui batas. Aku tidak pernah menduga, kamu yang seorang da’i berniat meneruskan jejak iblis-iblis keparat itu!” Tukas pemburu itu saat dia masih mencengkeram lenganku.
“Lepaskan dia. Dia tidak tahu apa-apa tentang dendam kalian. Kalian tidak berhak menghukumnya atas dosa yang dilakukan oleh orang lain hanya karena mereka terlihat sama.” Kata pemilik rumah berharap dia bisa membujuk pemburu itu
“Mustahil. Apa lagi yang bisa kalian katakan setelah kami dapati kalian berduaan di rumah itu. Dan lagi, bukankah kamu mengaku tidak pernah menyembunyikan siapapun di rumahmu? Munafik!! Permainan kalian berakhir disini. Ini adalah hukum yang ditetapkan oleh desa ini. Hukum yang sesuai untuk iblis laknat seperti kalian!” pemburu itu kehilangan akal sehatnya. Dia menarik tanganku ke atas, mencengkeramya sekuat tenaga dan mencoba memutusnya menggunakan samurai di tangan kirinya.
Aku menjerit kesakitan. Beberapa tetes darah mengalir dari mulutku. Aku tahu percuma melakukan apapun saat ajal sudah berada di hadapanku. Tapi untuk terakhir kalinya aku mencoba bermunajat kepada Allah. Meminta pertolongan terbaik dari-Nya. Setidaknya untuk membiarkanku menghadap kepada-Nya dalam keadaan husnul khathimah. Hingga aku siap untuk itu. Siap untuk MATI.
Cipratan darah segar mengalir membasahi wajahku. Tubuhku menggigil, tidak sanggup melihat kejadian di hadapanku. Tanpa aba-aba pemilik rumah itu mendorong si pemburu menjauh dari tubuhku. Samurai yang tadinya ditujukan untuk memutus tanganku malah mengenai tangan pemilik rumah yang menangkis samurai itu dengan tubuhnya. Untung saja tangannya tidak putus. Hanya saja goresan samurai itu sempat membuatku merasakan hangatnya darah seorang da’i muda yang mati-matian melindungi nyawaku. Air mataku mengalir melihat dirinya yang harus menderita karena kehadiranku dalam hidupnya. Aku sekarang berpikir jika saja aku biarkan pemburu itu menghabisi nyawaku saat di danau, mungkin dia tidak perlu merasakan ini semua. Setidaknya tidak akan ada darah yang mengalir dari tubuhnya. Tidak perlu melindungiku. Sampai akhir seperti ini.
Aku mengusap air mata yang sudah bercampur dengan darahnya. Mataku terasa begitu perih akibat darah itu. Aku tidak bisa melihat begitu jelas. Hanya samar-samar. Aku melihat seseorang berjalan menghampiriku. Oh tidak. Ya Allah.. pemburu itu berhasil menghabisinya. Bagaimana ini.. dia..dia...
“Apa kamu..berniat.. untuk..mendahului takdir...Allah..?” tanyanya padaku.
Subhanallah. Dia masih hidup. Dia yang mengalahkan pemburu itu. Tubuhnya menggigil karena kesakitan. Dari tangannya darah tidak berhenti mengalir. Begitu juga dengan air mataku. Aku segera mengambil obat dan perban pemberiannya yang aku sembunyikan di kantongku. Kuberikan padanya agar bisa digunakan untuk membalut lukanya. Aku merasa sedih saat melihat dia menahan sakit dari luka ditangannya. Hanya dalam beberapa hari, aku tidak sanggup lagi menahan perasaan ini. Entah dari mana datangnya, entah kapan ia mulai muncul. Tapi satu yang aku sadari saat ini. Aku menyukainya. 
Dia bergegas menutup lukanya dengan perban, sebelum memintaku untuk berhenti menangis. Mungkin dia bisa memahami apa yang kurasakan. Ketakutan karena merasa nyawa terancam sekaligus rasa bersalah karena melibatkannya dalam tragedi ini.
“Bertahanlah sebentar lagi. Di bawah sana ada goa yang terhubung ke jalan raya. Aku sudah meminta sopirmu untuk menunggu disana. Jangan khawatir, sebentar lagi kamu bisa bertemu dengan ibumu. Berhentilah menangis.” Ujarnya berusaha menenangkanku.
Aku merasa terhibur mendengar ucapannya. Entah jurus apa yang dia gunakan, tapi kalimat yang singat itu terasa begitu bermakna di hatiku. Setelah semua yang terjadi, sudah seharusnya aku mengucapkan terima kasih pada da’i muda penyelamat jiwaku ini. Tapi belum sempat aku bicara, salah seorang pemburu tiba-tiba bangun dan melempar pemilik rumah dengan batu. Sayangnya, lemparan itu terlalu lemah sehingga tidak bisa melukai pemilik rumah itu. Sebaliknya, kami menyadari bahaya yang masih akan datang jika kami tetap berdiam di tempat ini.
Pemilik rumah itu menuntunku menuruni tebing menuju ke rongga goa. Tebingnya sangat terjal dan dipenuhi oleh batu-batu kecil yang tajam. Beberapa kali aku merintih kesakitan karena kakiku tertusuk ujung batu itu. Begitu juga dia. Hanya saja dia terlalu cool untuk merintih sepertiku. Dari bawah tebing kami mendengar kehebohan di atas sana. Suara beberapa orang yang berteriak memanggil temannya. Seperti memberi aba-aba untuk melakukan pengejaran ke bawah tebing. Dari sini mulut goa sudah terlihat. Dia menyuruhku masuk ke dalam goa dengan membawa obor yang sudah disisipkannya di dinding goa. Berjalan lurus di dalam rongga goa sampai aku bisa melihat jalan raya. Disana ada sebuah mobil yang menungguku dan akan mengantarku ke pesantren Al-fitrah. Dia menjelaskan semuanya seraya mengencangkan ikatan perban di tangannya dan bersiap untuk menyerang.
“Kenapa tidak ikut bersamaku?” Tanyaku serius
“Pergilah! aku akan mencegah mereka. Lagipula aku adalah salah satu dari mereka. Tidak semudah itu mereka bisa membunuhku. Cepat pergi selagi mereka belum melihatmu.” Katanya dengan nada yang datar.
“Bukannya lebih baik kalau kita pergi bersama?” Kataku berusaha meyakinkannya.
“Dengar! Tidak ada waktu untuk itu. Jika kamu tetap disini, mereka akan dengan mudah membunuhmu. Dan kamu tidak akan pernah bisa melihat ibumu lagi. Cepat pergi dari sini sebelum aku benar-benar marah!”  Bentaknya
“Paling tidak beri tahu aku siapa namamu?” Pintaku
Dia terdiam mendengarku menanyakan namanya. Mungkin tidak pernah terpikir olehnya kalau aku ingin mengenalnya lebih dekat.
“Hafidz. Kamu?” Balasnya
Seketika itu kawanan pemburu berhasil menemukan tempat kami berada. Dia terkejut dan segera mendorongku untuk masuk ke dalam goa. Sungguh sangat berat meninggalkannya sendiri disaat seperti ini. Tapi aku tahu, aku hanya akan jadi beban jika tetap menemaninya bertarung.
“Akan kukatakan namaku saat kamu menemuiku di pesantren. Berjanjilah kamu akan menyusul.” Ujarku sebagai tanda penginkat agar dia datang menemuiku. Tapi dia tidak menjawab sedikitpun. Dan itu membuatku sangat cemas.
“Berjanjilah Hafidz!!” bentakku dengan suara lantang
“Insya Allah. Tunggulah aku.” Katanya menutup percakapan terakhir kami malam itu.
Sesuai perintahnya, aku berjalan menyusuri rongga goa yang bersinar keemasan akibat biasan cahaya obor. Dari dalam goa aku mendengar suara perkelahian beberapa orang. Aku tahu ini berbahaya untuknya. Tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mempercayai ucapannya. Bahwa dia akan datang menemuiku.
Ujung goa mulai terlihat. Ada sebuah mobil pick up tua di seberang jalan. Disana berdiri seorang laki-laki paruh baya bersama seorang wanita yang melambaikan tangannya padaku. Ibu. Itu ibu. Aku berlari menghambur padanya. Kupeluk ibu sekuat yang aku bisa. Tentu saja hanya dengan satu tangan. Dan saat ibu mulai menangisi keadaanku, saat itulah aku terkulai tak berdaya. Perlahan menjauh dari alam sadar.

Udara terasa begitu segar. Mentari pagi sengaja memandikan tubuhku dengan cahayanya. Alam yang indah, gunung yang menjulang tinggi dan suara kicauan burung yang terdengar seperti melodi yang indah. Inilah yang kuharapkan. Kehidupan di lingkungan pesantren yang damai bersama dengan ibu. Hanya saja..
“Kaak... ummi minta kakak ke depan. Katanya ada yang mencari kakak.” Kata adikku yang sudah berusia sebelas tahun.
Aku berjalan menuju depan rumah. Sama saja artinya menuju halaman pesantren. Karena rumah ini dibangun tepat di tengah-tengah jejeran bangunan pesantren. Tujuannya agar pembina pesantren lebih mudah mengawasi aktifitas setiap santri. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di depan rumah. Dan tidak butuh waktu lama untukku mengenali sosok pemuda tampan yang duduk tenang bersama dengan kharisma luar biasa yang hanya  dimiliki olehnya. Aku senang melihat dia ada disini. Itu artinya dia berhasil memenuhi janjinya. Dan itu artinya sekarang giliranku menepati janji padanya.
“Aku Syifa. Selamat datang di pesantren Al-fitra, ustadz Hafidz.”


04 Juli 2012 
Baca Selengkapnya →Buronan

Mimpi Luar Biasa


Aku lahir dalam keadaan normal. Menurutku. Aku punya ayah dan punya ibu. Saudara juga. Dua orang kakak laki-laki yang usianya tidak beda jauh. Saat usia 3 tahun, mereka terlihat seperti anak kembar ^_^. Aku satu-satunya yang perempuan. Bahkan setelah adikku lahir, aku masih satu-satunya.

Aku berkembang dengan cara yang sedikit tidak normal. Kenapa? Rahasia. Ada banyak pergolakan antara hidup dan mati selama aku beranjak dewasa. Kenapa? Rahasia. Aku terkurung pada satu hal tanpa tahu bagaimana cara keluarnya. Kenapa? Sudah dibilang Rahasia. Jangan tanya lagi ya?.

Aku paling suka Doraemon. Aku pikir semua anak juga menyukainya. Walaupun sampai sekarang belum jelas apa dia benar-benar ada atau tidak. Yang jelas dia selalu hidup dalam imajinasiku. Doraemon memberiku banyak inspirasi tentang akan jadi apa aku nanti. Aku pernah berpikir untuk memjadi manusia yang bisa terbang karena terpengaruh baling-baling bambunya. Kadang aku juga jadi ingin keliling dunia setelah membeli Pintu Kemana Saja. Parahnya lagi, aku bertekad untuk mencabut bulu hidung kakak-kakakku saat mereka tidur dengan mengecilkan diri menggunakan senter pengecil. Sekarang setelah dewasa aku maalh berpikir, seandainya mesin waktu benar-benar ada, aku ingin kembali ke masa lalu. mengubah semua kesedihan dan rasa kecewaku dengan kebahagiaan yang mungkin akan merubah hidupku jadi lebih baik. Siapa yang betah dengan kehidupanku? Sumpah deh, kalau kalian yang ada di posisiku, kalian akan menyerah jauh sebelum cobaan itu datang. Kenapa? Kenapa coba? Rahasia? Benar.

Aku mulai dewasa dan berpikir realistis. Selamanya mengharapkan kedatangan abad 22 dengan semua peralatan canggihnya kurasa itu sangat mustahil. Lebih baik aku menikmati hidup dengan cara normal. Tapi nyatanya? oooohhh...hidupku jauh dari garis normal. Yang aku miliki hanya segudang mimpi yang tidak ada ujungnya. Setiap hari bahkan setiap detik aku semakin kreatif merangkai mimpi-mimpiku yang sangat indah dan menakjubkan. Aku kembali berpikir realistis. bukan hal yang mustahil aku mendapatkan semua mimpi itu. Toh kenyataannya sampai sekarang aku tetap berhasil melewati segala rintangan untuk mendekati mimpi itu. Yaa walaupun hasilnya asal-asalan. Tapi aku pikir cukup untuk seorang yang.... yaaah... seperti diriku. Aku pernah bermimpi untuk menjadi orang keren yang bekerja dengan banyak komputer di depannya. , ini, ini Seperti yang ada pada mesin luar angkasa di serial Doraemon. Ada tombol untuk ini dan itu. Aku suka hal seperti itu. Fantastis. Lebih fantastis lagi karena sekarang aku berada di posisi itu. Memang tidak ada tombol ini, ini, ini, dan itu, tapi ada beberapa komputer yang bisa kulihat sepanjang waktu. Sekali lagi, hany bisa kulihat. Kenapa? Kali ini kujawab. Operator warnet bakal marah kalo aku otak taik komputernya. ^_^

Aku juga ingat dengan mimpi gilaku yang muncul setelah menyaksikan behind the scene film Si dul Anak Sekolahan. Aku terobsesi dengan orang yang duduk do kursi yang bisa berjalan-jalan dan di depannya ada monitor kecil untuk menampilkan rekaman kamera, Apalgi setelah dia bilang "Action!!!!!" Waaa..... Jantungku berdebar ingin mencoba bagaimana rasanya. Tapi bagiku, itu bukan hanya sekedar mimpi. Suatu saat aku ingin mewujudkannya. Dan aku ingin menjadi luar biasa dengan mimpi luar biasa itu.

25 Januari 2013
Baca Selengkapnya →Mimpi Luar Biasa

Rabu, 23 Januari 2013

Hidup

Hidup yang kita miliki memang Sulit. Ada banyak hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Misalnya, keluarga tempat kita dilahirkan, lingkungan, sekolah, teman, pacar, atau mungkin keluarga baru yang nanti akan jalani. Siapa yang mengira seorang bayi kecil yang baru menangis di detik pertama kehidupannya akn tersenyum bahagia saat dewasa nanti jika ia terlahir di keluarga kaya. Atau sebaliknya, mungkin si mungil itu akan menangisi kekayaan yang ia dapatkan karena kekurangan kasih sayang. Hidup ini Sulit.

Terkadang hidup juga menyedihkan. Kita berusaha mendapatkan apa yang kita inginkan dengan cara menempa diri dengan hal-hal positif. Tujuannya pasti utnuk mendapatkan result positif juga. Tapi terkadang kita juga harus realistis. Akan ada ujian di setiap kita mau naik kelas. Kelas 1, kelas 2, kelas 3, atau berapun. Soal ujiannya berbeda di setiap tingkatan. Semakin tinggi level yang ingin diraih, maka tantangannhya semakin sulit. Bagaimana jika tantangan itu datang pada saat yang tidak tepat? Hidup ini menyedihkan.

Namun coba buka mata anda! Lihat sekeliling yang anda miliki. Hidup ini indah sayang. Mungkin beberapa hal terasa sangat menyiksa untukmu. Tapi coba pikirkan lagi, bukankah itu menyenangkan jika kamu nikmati? Ada orang yang menyakitimu. Dia mengkhianati janji yang kamu percayakan seutuhnya. Hanya pada dirinya. Tapi ternyata itu hanya ucapan janji kosong agar dia bisa mendapatkanmu. Bukankah itu menyakitkan? Ya. Itu sangat menyakitkan. Membayangkan orang yang kita cintai ternyata hanya seorang pembual kejam yang bahkan tidak peduli dengan sakit yang kamu rasakan. Persetan dengan dia. Justru dengan begitu kamu jadi tahu, bahwa dia bukanlah orang yang pantas untuk mendapatkan cinta tulus dari hatimu. Dia hanya sebuah persinggahan yang datang di saat kamu sedang kosong. Tidak lebih dari itu. Jadi untuk apa sedih? Kamu terlalu bodoh untuk patah hati hanya karena orang sebodoh itu. Dan memikirkan kezalimannya sepanjang waktu?? UUUUhhhh.... Come On!! Dia bahkan tidak pantas ada dalam pikiran kamu. Sekarang buka Recyle Bin yang ada di otakmu, masukkan semua tentang pengkhianat itu ke dalamnya, dan yang terakhir, musnahkan Recyle Bin itu. Dan lihat apa yang kamu temukan.


24 Januari 2013
Baca Selengkapnya →Hidup

Rabu, 11 Juli 2012

Stategi Pengujian Perangkat Lunak

Stategi Pengujian Perangkat Lunak

Black-box testing

a. Pendekatan pengujian dimana program dianggap sebagai suatu ‘black-box’ (‘kotak hitam’)

b. Program test case berbasiskan spesifikasi

c. Test planning dapat dimulai sejak awal proses pengembangan sistem

Pengujian black box berusaha menemukan kesalahan dalam kategori :

a) Fungsi-fungsi yang tidak benar atau hilang

b) Kesalahan interface

c) Kesalahan dalam struktur data atau akses database eksternal

d) Kesalahan kinerja

e) Inisialisasi dan kesalahan terminasi

2. Basis Path

a. Tujuannya meyakinkan bahwa himpunan test case akan menguji setiap path pada suatu program paling sedikit satu kali.

b. Titik awal untuk path testing adalah suatu program flow graph yang menunjukkan nodenod yang menyatakan program decisions(mis.: if-then-else condition) dan busur menyatakan alur kontrol

c. Statements dengan conditions adalah nodenode dalam flow graf.

3. Struktur Control

a) Disebut juga white-box testing Penentuan test case disesuaikan dengan struktur sistem. Knowledge program digunakan untuk mengidentifikasi test case tambahan.

b) Tujuannya untuk menguji semua statement program (debug).

4. White box

Metode pengujian dengan menggunakan struktur kontrol program untuk untuk memperoleh kasus uji

a. Dengan menggunakan white box akan didapatkan kasus uji yang :

b. Menjamin seluruh jalur independen di dalam modul yang dieksekusi sekurang-kurangnya sekali

c. menguji semua keputusan logikal

d. menguji seluruh Loop yang sesuai dengan batasannya

e. menguji seluruh struktur data internal yang menjamin validitas

Baca Selengkapnya →Stategi Pengujian Perangkat Lunak