BURONAN
J
|
auh dari
semua yang bisa menggoyahkan imanku, dari dunia yang selalu menanggilku untuk
maksiat, dan dari semua yang berusaha mengajakku membeli tiket ke neraka.
Pertama kalinya aku bisa mendapatkan kebebasan untuk menikmati anugerah iman
dari Allah. Dengan diriku sendiri. Disini. Aku bebas. Bukan dalam arti negatif,
tapi bebas untuk mendeklarasikan keimanan kapan saja aku mau.
Aku mendiami daerah perkotaan yang selalu ramai
dengan aktivitas hedonis. Mall, bioskop, kafe, diskotik, dan entah apa nama
kawan-kawannya selalu menjadi unek-unek dalam diriku. Kadang aku berpikir
seandainya Tsunami benar-benar meluluh-lantakan semua tempat itu seperti banjir
bandang di zaman nabi Nuh, pasti akan ada sedikit perubahan di dunia ini. Tapi
itu cuma khayalan. Lagipula Tsunami kan di Aceh. Tempat dimana tidak akan ada
orang yang mempermasalahkan busanaku.
Entah apa yang mereka pikirkan tentangku. Ya..
kuakui aku sedikit berbeda. Tapi bukan alasan hanya karena aku menggunakan
cadar mereka jadi mendapat semacam izin untuk melecehkanku. Toh aku tidak
melakukan sesuatu yang haram. Dan tidak mengganggu mereka.
Tapi semuanya akan berubah mulai hari ini.
Akhirnya aku mendapat SK untuk ikut bersama ummi mengurus pesantren yang
didirikan oleh kakek. Tidak ada kesenjangan sosial disana, tidak ada mall,
diskotik atau apapun yang membuatku jenuh. Karena menghirup aroma pesantren
sejati bagiku sama saja dengan merasakan sedikit tiupan angin kecil dari surga.
Walaupun sebenarnya tidak sama. Seperti yang aku rasakan ditempat ini. Udara
yang segar, pohon-pohon yang rindang, jalan yang sepi. Semua terlihat sempurna
disini. Perjalanan yang seharusnya menempuh waktu lama jadi terasa singkat saat
aku mulai bertanya dimana aku sekarang.
“Kita sudah hampir sampai nak.” Kata sopir
paruh baya yang asik dengan setir mobilnya.
Cuma itu yang aku dengar dari sopir yang disewa
khusus oleh ummi untuk mengantarku ke pesantren. Susah juga mendapatkannya.
Karena banyak orang yang menolak untuk mengantarku ke pesantren itu. Mungkin
karena jalannya yang sangat jauh. Atau mungkin juga karena hal lain. Sopir itu
terlalu pendiam. Tidak akan ada suaranya yang bisa kudengar kecuali jika aku
bertanya tentang satu hal. Bahkan saat dia keluar dari mobil untuk buang air, dia sama sekali tidak
bicara sedikitpun. Tapi ya sudahlah, mungkin itu caranya untuk menghormatiku.
Lama aku menunggu sopir itu kembali. Tapi tak
ada tanda-tanda dia akan kembali. Yang ada hanya daun-daun kecil yang terus
menari karena disentuh oleh angin nakal yang suka bolak-balik. Sesekali daun
itu melambai ke arah pohon besar di belakangnya, namun sesekali dia juga
memandikan tubuhnya dengan air danau kecil yang dihuni oleh beraneka ragam
hewan air tawar. Angin yang lembut, air yang jernih, dan mentari yang cerah.
Semua cukup untuk menarikku keluar dari mobil pick up yang sudah mulai malas
melakukan tugasnya. Aku berdiri tepat di bawah pohon mangga yang mulai
memamerkan buah-buahnya. Dari sana aku disa melihat danau lebih jelas. Jelas
sekali. Sangat jelas. Sejelas aku bisa melihat sebuah sampan kecil yang membawa
tiga orang penumpang yang sepertinya menatap ke arahku. Mungkin mereka heran
melihat orang sepertiku berada di daerahnya. Bukan masalah, aku sudah biasa mendapat perlakuan seperti
itu. Tapi sangat tidak biasa jika salah satu diantara mereka adalah sopir yang
dari tadi menghilang entah kemana. Terlebih lagi..
“Lari nak!!! Cepat lari!! Ugh!!” Sopir itu
berteriak kepadaku
Dia merintih kesakitan karena baru saja
mendapat tendangan keras dari dua orang lainnya yang bertubuh besar dan tampak
mengerikan. Bukan pemandangan yang indah dilihat ketika aku masih ingin
menikmati kekayaan alam tempat ini. Tapi sepertinya benar yang dikatakan sopir
itu. Lari. Aku memang harus lari. Satu orang dari mereka melompat turun dan
sampan dan berlari mengejarku. Sedangkan yang lainnya berusaha mengencangkan
tali pengikat yang melingkar di tubuh sopir malang itu dan menyambungkannya ke tali
sampan agar sopir itu tidak bisa lari.
Entah apa salahku. Kedua orang itu terus
mengejar. Tak peduli berapa banyak ilalang yang mereka lewati, tak peduli dengan
ranting-ranting pohon yang dengan gampang ditebasnya menggunakan pedang panjang
seperti samurai. Astaghfirullah. Apa yang terjadi?
Aku terus berlari melintasi jalan sepi yang
dipenuhi oleh teriakan minta tolongku. Tapi percuma. Siapa yang akan mendengar.
Tempat ini sepi. Yang terlihat di depanku hanya sebuah jalan lurus yang tidak
akan ada habisnya. Dan aku akan tamat jika tetap berlari di jalan itu. Karena
saat aku melihat ke belakang, pemburu—begitu aku menyebut mereka—berkumis
tebal itu berhasil mengayunkan pedangnya
tepat kearah leherku. Dan..pedang itu tertancap. Tepat mengenai batang pohon
mangga yang hampir ada disepanjang
jalan. Nyaris saja aku tewas jika aku tidak terjatuh akibat tidak sengaja
menginjak ujung rokku yang terlalu panjang. Kali ini aku bersyukur. Aku kembali
bangkit sementara pemburu itu sibuk mencabut kembali pedangnya.
Tapi belum sempat tubuhku berdiri sepenuhnya,
pemburu yang satu lagi sudah siap dengan kayu pemukulnya. Aku kembali merunduk.
Namun sayangnya pemburu itu lebih cepat dari yang bisa kubayangkan. Pukulannya
berhasil mengenai lengan kiriku. Dan sakitnya terasa sampai ke ubun-ubun.
Sepertinya pemburu itu serius ingin membunuhku. Belum puas dengan itu, kali ini
dia mengambil pedang dari temannya dan mengambil ancang-ancang untuk
menancapkan pedang itu di kepalaku. Aku terperangah. Berpikir ini adalah akhir
dari hidupku yang belum tentu kemana arahnya. Bayangan kehidupan yang tenang
bersama ummi di pesantren kini hancur sudah. Jika ini adalah detik terakhir
dalam hidupku, Ya Allah.. izinkan aku mati dengan cara yang lebih baik.
“Aaaaaaghh.....”
Ugh..aku terjatuh kebawah tebing yang membatasi
jalan dengan hutan. Tubuhku terguling, terlempar, dan tersangkut beberapa kali
di ranting pohon yang akhirnya tetap patah karena tertimpa tubuhku. Beberapa
kali aku merasa sakit tak tertahan di lengan kiriku yang sempat merasakan
pukulan keras pemburu itu. Aku pikir mungkin ini cara mati yang lain yang
disiapkan Allah untukku. Tapi aku masih belum mau mati. Kupaksakan tubuh ini
berbalik agar aku bisa melihat sesuatu yang bisa kupegang. Sayangnya yang
kulihat hanya sebuah pohon besar tepat dihadapanku. Ups.. punggungku terpukul
ke batang pohon besar itu. Sakit. Tapi cukup untuk menghentikan penderitaan
ini. Terima kasih Ya Allah. Aku masih hidup.
Seluruh tubuhku terasa sakit. Nyeri di tangan
kiriku semakin terasa saat aku melihat beberapa tetes darah segar jatuh ke
tanah. Aku mencoba berdiri untuk melihat si pemburu yang berada di atas tebing
sebelum aku jatuh ke bawah. Tapi tak ada yang bisa dilihat dari sini. Tidak
tebing itu, tidak juga si pemburu. Semuanya tertutupi oleh pohon-pohon besar di
hutan ini. Akhirnya aku merasa aman. Untuk sementara. Paling tidak sampai aku
sadar bahwa tempat aku terkulai lemah sekarang sama berbahayanya dengan si
pemburu gila itu. Aku ingin segara pergi dari sini. Tapi aku terlalu lelah.
Sangat lelah sampai aku tidak sanggup lagi membuka mata.
Sungguh aneh. Apalagi ini? Baru saja
aku terjebak di hutan mengerikan dengan tubuh yang sangat lemah. Kini aku
terbangun di sebuah ruangan kecil dengan satu tempat tidur dan satu meja kecil
disampingnya. Aku mencoba untuk bangun. Dan rasa nyeri di lengan kiri
mengingatkanku pada si pemburu yang berusaha membunuhku. Terlintas pikiran aneh
dibenakku. Jangan-jangan pemburu itu menemukanku? Dan sekarang.. aku disekap.
Keringat dingin mengucur deras dari tubuhku. Apapun itu yang dalam pikiranku
saat ini, aku tidak peduli. Aku harus keluar dari tempat ini.
Aku melangkah keluar sembari
memegang lenganku yang masih belum mau berhenti merengek. Perlahan aku berjalan
mendekati pintu. Hanya untuk melihat situasi, aku mengintip dari lubang kunci
untuk memastikan tidak ada orang diluar ruangan. Aku berusaha sepelan mungkin
untuk membuka pintu agar tidak menimbulkan suara. Tapi belum jadi kenop pintu
kutarik, pintu malah terbuka dengan sendirinya. Atau tepatnya sengaja dibuka
oleh seseorang. Sontak aku terkaget dan dengan refleks aku mundur ke belakang
pintu. Anggap saja sembunyi. Aku berusaha mencari sesuatu yang bisa kugunakan
untuk melindungi diri jika si pemburu melihatku. Tapi yang terjadi malah diluar
perkiraan.
“Istirahat saja dulu. Tidak usah buru-buru
keluar. Aku akan siapkan makanan untukmu.” Kata seorang lelaki yang sudah pasti
bukan pemburu itu.
Aku kaget mendengar suara itu, sekaligus juga
lega. Aku penasaran dengan orang itu. Kalau bukan si pemburu, siapa dia? Dan
kenapa aku ada di rumahnya? Aku kembali membuka pintu yang sudah ditutupnya.
Aku melangkah keluar ruangan tempat tadi aku terbaring di sana. Aku melihat
keseluruh ruangan. Tidak terlalu besar. Hanya ada satu kamar dan satu ruangan
yang digunakan sebagai dapur. Lelaki itu berdiri disana. Dia terlihat sibuk
dengan aktivitasnya. Dia mengambil sebuah piring dari rak piring yang ada
disampingnya. Hanya ada dua piring di sana, satu gelas, dan satu buah mangkok
kecil. Aku terus menatap ke arahnya. Berusaha mengetahui kalau dia memang bukan
salah satu dari dua pemburu itu.ternyata memang bukan. Saat dia memalingkan
tubuhnya dan aku bisa melihat wajahnya.
“Makanlah ini. Cuma sedikit tapi cukup untuk
malam ini.” Katanya seraya berlalu untuk meletakkan sepiring nasi dengan satu
buah kerupuk dan satu gelas air putih.
Aku terkaget mendengar dia bicara. Malam? Ini
sudah malam? Sebenarnya berapa lama aku tidak sadar? Sudahlah, yang penting
sekarang aku selamat. Terus terang aku ragu untuk memakan makanan itu. Aku
berada dirumah seorang lelaki yang tidak aku kenal, dan dia memberi aku
makanan. Siapa yang bisa menjamin makanan itu aman. Aku tetap berdiri mematung
di depan pintu kamar seraya merintih kesakitan karena luka akibat pertempuran
itu. Dia berlalu begitu saja tanpa berusaha meyakinkanku sekali lagi untuk
memakan makanan itu. Aku melihatnya mengambil sebuah sarung dari gantungan baju
dan mengantungkannya di leher. Dia berjalan menuju pintu belakang untuk
membersihkan sandalnya yang penuh dengan lumpur.
“Kamu boleh menginap disini malam ini. Jangan
keluar dari rumah kalau kamu tidak mau mengalami kejadian seperti tadi siang.
Khusus untuk kamu lingkungan ini sangat tidak aman. Kalau mau berwhuduk kamar
mandinya ada di sebelah kamar itu.” Katanya sebelum membuka pintu dan akhirnya
meninggalkanku begitu saja.
Aku tertegun melihat sikapnya. Bagaimana mungkin
ada orang sedingin itu. Setidaknya dia harus khawatir jika aku kabur dan
mencuri barang-barang di rumahnya. Yaah..sebenarnya tidak ada yang bisa dicuri
sih. Aku mencoba berpikir positif tentang hal ini. Jika dia bukan orang yang
baik, tidak mungkin dia pergi begitu saja setelah memberiku makanan dan jika
dia adalah kawanan pemburu itu, sangat bodoh jika dia tidak membunuhku saat ini
juga. Aku tidak mau berlama-lama dalam ketakutan ini. Satu hal yang aku tahu
sekarang, aku lapar.
Entah kenapa ada suasana lain yang aku rasakan
di rumah ini. Terasa menyenangkan dan damai. Tenang. Hening. Tempat yang
memberi kebebasan seluas-luasnya untuk bermunajat kepada Allah. Kuhabiskan
malam ini dengan dzikir dan tahajjud. Aku terlena dengan keheningan malam
sampai tidak kusadari azan subuh mulai berkumandang ditemani udara langit yang
sangat segar. Aku berlalu dalam kekhusyukan
ibadah yang sudah lama tidak aku dapatkan.
Malam berlalu. Subuh berakhir dan cahaya pagi
mulai menyapu lantai rumah yang menerobos masuk melalui jendela yang baru saja
kubuka. Ada beberapa debu yang menempel dibingkai jendela. Sudah lama tidak
dibersihkan. Begitu juga rumahnya. Dan sepertinya sangat wajar jika aku sedikit
berbaik hati untuk membersihkannya. Kuambil sapu yang disandarkan di belakang
pintu kamar. Aku mulai dengan pekerjaan melelahkan yang entah kenapa hari ini
terasa begitu menyenangkan. Aku terlalu asik dengan sapu dan debu-debu itu
sampai aku sadar kalau dari tadi ada seseorang yang mengetok-ngetok pintu
belakang.
Aku kaget dan pucat mendengar suara ketukan
pintu itu. Sepertinya orang itu adalah pemilik rumah yang semalam pergi begitu
saja. Tapi ada juga kemungkinan itu adalah orang lain, karena si pemilik rumah
tidak bilang kalau dia akan kembali. Aku berjalan kearah pintu dan tentu saja
dengan sapu yang kapan saja siap dipukulkan jika itu adalah orang yang
mencurigakan. Tangan kiriku perlahan membuka kenop pintu dan tangan kanan siap
dengan sapunya. Dan..
“Assalamu’alaikum...” sapa si pemilik rumah.
Huft. Syukurlah bukan orang yang mencurigakan.
Dia berlalu masuk ke rumah dengan membawa sebuah kantong kresek yang entah apa
isinya. Dia terlalu dingin. Bahkan dia tidak peduli dengan suaraku yang
gemetaran saat menjawab salamnya. Aku berjalan dibelakangnya. Sedapat mungkin
berusaha menjaga jarak agar tidak terlalu dekat. Aku terus melihat kearah
kakinya agar tau kemana dia melangkah. Tapi dia malah berhenti mendadak
didepanku. Dan itu berhasil membuatku kaget.
“Oleskan ini di luka tanganmu dan makanlah roti
itu. Cuma itu yang ada.” Katanya saat dia menyerahkan kantong kresek itu.
Sekarang aku tahu apa isinya.
Aku melihat dia masuk ke kamarnya dan mengunci
kamar itu dari dalam. Entah apa yang dia lakukan. Sedangkan aku cuma bisa duduk
di sudut ruangan. Aku mencoba mengambil roti yang ada di dalam kresek itu saat
dia keluar dari kamarnya. Sontak aku kaget dan tanpa sengaja menjatuhkan roti
itu ke lantai karena terlalu gugup. Dia hanya melihat. Tanpa ekspresi
sedikitpun. Dan aku malu.
Dia terlihat lebih rapi dari sebelumnya. Dengan
baju daster putih dan syal yang melingkar di lehernya. Serta yang jadi
perhatianku adalah sebuah kitab tebal yang disandang di tangannya. Terlihat
seperti seorang ustadz muda yang tampan. Oh tidak. Apa yang aku pikirkan. Aku
berpaling darinya. Begitu juga dia yang berpaling untuk mengambil satu buah
kitab lagi dari rak bukunya. Aku tahu yang diambilnya adalah kitab Fathul Mu’in,
kitab fiqh yang digunakan pengikut imam Asy-syafi’i. Kitab yang sering kubaca.
Siapa sebenarnya orang ini? Aku benar-benar ingin tahu. Tapi aku terlalu malu
untuk bertanya. Dia memiliki kharisma luar biasa. Seperti yang dimiliki oleh
orang-orang besar karena ilmunya. Walaupun sedikit dingin.
“Dari mana asalmu? Kemana tujuanmu?” Tanyanya sambil membolak balik kitab di
tangannya.
“Pesantren Al-fitrah.” Jawabku singkat.
Dia tertegun. Seolah mengetahui pesantren itu.
Dia kembali memeriksa lagi kitab-kitabnya setelah sebelumnya dia sempat menoleh
kearahku.
“Aku tidak tahu kalau santri pesantren itu
menggunakan cadar.” Katanya lagi.
Aku kaget mendengar ucapannya. Dari semalam
seolah dia penasaran dengan cadarku.
“Lalu kenapa? Apa aku hanya boleh
menggunakannya jika diperintah oleh pesantren? Siapapun berhak menentukan cara
berbusana yang dia inginkan selagi itu tidak berlawanan dengan syari’at Islam.
Dan aku pikir ini privacy bukan perintah instansi.” Jawabku yang lebih panjang
dari sebelumnya.
Dia terdiam mendengar ucapanku. “Kamu lebih
cerewet dari kelihatannya.” Katanya dengan gaya sedikit sombong.
“Dan kamu lebih dingin dari kelihatannya.”
Jawabku kesal.
Kali ini dia sudah selesai dengan
kitab-kitabnya. Dia siap untuk pergi ke sebuah tempat untuk berdakwah.
Sepertinya. Tanpa alasan jelas dia menutup jendela yang tadi sengaja kubuka
untuk membiarkan udara masuk ke rumah. Dia pergi melewati pintu belakang dan
memintaku untuk menguncinya dari dalam. Dia juga memperingatkanku untuk tidak
keluar dari rumah jika aku ingin tetap aman. Aku ingin bertanya kenapa, tapi
dia sudah menghilang di balik pepohonan.
Tak pernah kubayangkan ini akan terjadi padaku.
Terjebak di tempat asing tanpa tahu sampai kapan aku akan bertahan disini.
Ummi, pesantren dan bayangan indah angin surga yang kuharapkan seolah menjauh
dari pikiranku saat ini. Yang ada hanya ketakutan, penasaran dan rasa ingin
tahu yang teramat besar tentang pemilik rumah bergaya ustadz. Entah kenapa dia
tetap menahanku disini. Bukankah lebih baik kalau dia menyuruhku saja untuk
pergi ke pesantren.
Tidak banyak yang bisa aku kerjakan di rumah
ini. Sebuah rumah kecil dengan peralatan yang sangat minim. Hanya ada satu
tikar di lantai rumah, satu rak buku kecil yang dipenuhi oleh kitab-kitab tua
dan beberapa debu di sana-sini. Itulah yang bisa kulakukan. Membersihkan seisi
rumah dan menyusun kitab sesuai dengan ukurannya. Berulang kali melakukan hal
yang sama. Hingga aku melihat setumpuk pakaian kotor di sudut kamar. Tidak
terlalu lama waktu yang aku butuhkan untuk membersihkan pakaian itu. Akhirnya
kuputuskan untuk membaca beberapa kitab yang membuatku penasaran itu.
Waktu berlalu begitu cepat saat kita bisa
menikmati apa yang sedang kita kerjakan. Itu yang aku rasakan sekarang. Hanya
dalam hitungan jam malam akan datang. Dan ini akan jadi malam kedua dimana aku
terlelap di tempat asing. Tapi pemilik rumah itu belum juga datang. Aku pikir
dia akan pulang untuk mengantar makanan atau untuk mengambil sarung seperti
malam sebelumnya. Atau dia kehabisan uang untuk membeli roti sampai tidak
berani pulang. Kedengarannya lucu sih, tapi bagaimana jika memang itu yang
terjadi. Aku mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang berguna. Setidaknya
sebagai rasa terima kasih karena aku sudah diizinkan istirahat di rumah ini.
Dia pulang sesaat sebelum azan maghrib
menggema. Tidak seperti biasanya, sekarang aku yang datang membukakan pintu
untuknya. Mengucapkan salam dan mempersilahkannya mencicipi masakan yang baru
saja selesai aku buat. Dia terkejut saat melihat semua makanan itu.
“Darimana kamu dapatkan ini?” tanyanya dengan
suara parau.
“Uhmm.. dari belakang.” Jawabku ragu takut kalau-kalau
sudah melakukan kesalahan
Dia hanya diam untuk beberapa saat. Dari
ekspresinya aku tahu bahwa aku sudah melakukan sebuah kesalahan. Tapi
sepertinya dia bukan orang yang mau menyalahkan orang lain begitu saja. Dia
hanya mengucapkan terima kasih saat aku memintanya untuk mencicipi makanan yang
aku sajikan. Sepiring nasi hangat dengan tumis daun singkong yang terlihat
segar. Aku juga tidak mau ketinggalan menikmati makanan itu. Walaupun ini
pertama kalinya aku memakan daun singkong. Tapi mau bagaimana lagi cuma itu
yang ada di belakang rumah.
Makan malam ini terasa begitu nikmat. Bukan
karena masakanku yang enak, tapi lebih karena pemilik rumah yang begitu
menikmati makananku. Aku merasa sangat dihargai dengan sikapnya. Walaupun
terkadang aku jengkel juga dibuatnya. Suasana hening menjadi teman kami
sepanjang waktu makan. Aku mencoba menghalau keheningan dengan bertanya
padanya.
“Kenapa aku ada disini? Kenapa aku tidak boleh
keluar? Dan kenapa kamu selalu pergi setiap malam, kembali saat pagi dan pergi
lagi?” tanyaku bertubi-tubi.
Aku menunggu jawaban darinya. Tapi setelah
beberapa menit berlalu tidak satupun suaranya yang bisa kudengar.
“Kenapa tidak dijawab?” Tanyaku lagi.
“Karena aku sedang makan.” Jawabnya datar
Aku semakin jengkel. Aku berdiri dengan membawa
piring makanku yang sudah kosong dan membersihkannya di dapur. Aku berlalu
begitu saja ke kamar tanpa menoleh kearahnya. Aku pikir dengan ini bisa
membuatnya mengerti bahwa aku sedang kesal. Konyol. Aku bertingkah aneh di
depan orang yang tidak aku kenali. Tapi saat aku mulai memasuki kamar aku
mendengar dia memintaku untuk tidak keluar dari kamar. Tepatnya itu perintah.
Aku semakin kesal. Tidak biasanaya aku diperlakukan seperti ini oleh seorang
lelaki. Mungkin juga karena aku memang jarang bicara dengan laki-laki.
Aku terkulai lemah di ranjang dan bersandar ke
dinding kamar. Aku mencoba membayangkan apa yang ada dipikiran ustadz muda aneh
yang membawa, menahan, dan membuatku kesal di rumahnya. Sempat aku berpikir
untuk pergi saja dari rumah ini. Tapi trauma terhadap si pemburu masih belum
pulih sepenuhnya. Lagipula aku merasa seperti betah di rumah ini. Entah apa
sebabnya. Mendadak aku merasa lengan kiriku sudah mulai kesakitan lagi. Aku
ambil obat yang tadi diberikan pemilik rumah agar bisa kuoleskan di lenganku.
Tapi baru aku ingat kalau obat itu masih berada diluar. Sontak aku berdiri
menuju pintu. Belum sampai di pintu kamar aku mendengar suara beberapa orang di
ruang tamu. Sangat pelan dan tidak jelas yang mereka bicarakan. Kucoba mengintip
dari lubang kunci untuk tahu apa yang terjadi. Aku melihat pemilik rumah itu
berdiri di pintu depan bersama tiga orang lainnya. Mereka seperti sedang
membicarakan sesuatu. Wajah mereka terlihat tegang seolah sedang menahan amarah
yang sangat besar. Tapi si pemilik rumah tetap tenang dan mencoba mengendalikan
keadaan.
Lama aku memperhatikan mereka bicara. Tapi
tetap saja aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Hingga akhirnya muncul
seorang lelaki bertubuh besar dengan kumisnya yang tebal. Astaga. Aku terperangah
dan mencoba memutar kembali ingatanku beberapa hari yang lau. Aku tahu siapa
orang itu. Orang yang mengikat sopir di sampan, orang yang mengejarku
mati-matian dan orang yang berusaha membunuhku. Dia si pemburu.
Apa ini? Kenapa dia ada di disini? Apa hubungan
mereka dengan pemilik rumah ini?
Mendadak aku merasa pusing. Nafasku sesak dan
sakit akibat pertempuran hari itu kembali terasa saat aku melihat si pemburu.
Tapi aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Setidaknya untuk memastikan
keselamatan jiwaku jika aku tetap bertahan di rumah ini. Kuambil gelas berisi
air putih yang tadi sengaja aku bawa ke kamar. Sekejab kuminum habis semua air
di dalamnya untuk menghilangkan ketegangan lalu kugunakan gelas itu dengan
menempelkannya di pintu untuk membantu mendengar pembicaraan mereka. Cara kuno
waktu kecil yang kurasa ada manfaatnya juga untuk saat ini. Memang tidak begitu
jelas, tapi cukup untuk bisa mengerti inti pembicaraan mereka.
“Ingat saja. Jika kamu memperlihatkan gerakan
seperti melindungi manusia bejat itu, kami yang akan memutuskan waktu
kematianmu!!” Kata si pemburu dengan sangat tegas.
Pemilik rumah itu masih sangat tenang mendengar
ucapan pemburu itu. “Kalian melupakan sesuatu. Tidak ada seorangpun yang
mempunyai ilmu tentang kematian seorang makhluk kecuali Dzat yang
menciptakannya. Ilmu seperti apa yang kalian pelajari hingga kalian berani
menyamai ilmu Allah. Ketahuilah, kalian tidak akan mampu untuk itu.” Katanya dengan
nada yang sangat tenang.
Pemburu itu semakin naik darah. Perkataan
pemilik rumah cukup untuk membangkitkan gairah membunuhnya. Nyaris dia berhasil
memukul kepala pemilik rumah jika saja tangannya tidak ditahan oleh kawannya.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi karena tidak berhasil mendapatkan apa
yang mereka inginkan. Terlebih lagi pemilik rumah itu bukan orang sembarang
yang bisa mereka taklukan begitu saja. Sudah kubilang, dia memiliki kharisma
yang luar biasa.
Aku memberanikan diri untuk keluar dari kamar
setelah memastikan kawanan pemburu itu tidak kembali ke rumah.
“Itu jawabannya.” Kata pemilik rumah.
“Apa?” Tanyaku kebingungan.
“Jika kamu tidak masuk ke dalam kamar, hidup
kamu akan berakhir hari ini.” Tukasnya padaku.
“Tidak ada seorangpun yang mempunyai ilmu
tentang kematian seorang makhluk kecuali Dzat yang menciptakannya. Ilmu seperti
apa yang kamu pelajari hingga kamu berani menyamai ilmu Allah. Ketahuilah, kamu
tidak akan mampu untuk itu.” Ucapku persis seperti yang dia katakan pada
pemburu itu.
Suasana hening kembali menjadi dinding
penghalang pembicaraan kami. Dia diam. Aku juga. Cukup lama sampai azan maghrib
memecah keheningan kami. Dari wajahnya aku tahu kalau dia tersudut dengan
kata-katanya sendiri. Entah apa yang dia pikirkan. Tapi yang pasti, aku menang.
“Ini bukan waktunya tertawa untuk orang yang
nyawanya sedang terancam seperti kamu.” Katanya setelah melihat aku tersenyum
kecil. Entah bagaimana dia tahu aku tersenyum, aku kan pakai cadar.
“Istirahatlah malam ini. Besok kita akan
sibuk.” Ucapnya sebelum berlalu menuju pintu belakang.
“Paling tidak kamu bisa jelaskan dulu apa yang
terjadi disini.” Pintaku padanya.
“Tidak ada waktu untuk itu. Jangan keluar rumah
malam ini. Kamu akan jadi santapan orang-orang itu.” Katanya dengan nada yang
lebih serius.
Aku tertegun mendengar ucapannya. Sungguh aku
ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga tidak ingin berlama-lama di
tempat yang sudah pasti menunggu nyawaku melayang.
“Lalu apa jaminannya aku akan aman di rumah
ini?” Tanyaku kesal.
“Tunaikanlah shalat dan tenangkan pikiranmu.
Aku akan kembali setelah shalat isya dan menjelaskan semuanya.” Katanya seraya
berlalu dari hadapanku. Seperti biasa dia keluar lewat pintu belakang.
Dengan sarung di leher dan baju gamis
putih yang setia bersamanya.
Malam ini aku merasa waktu semakin lama
berputar. Mungkin karena aku mulai merasakan bahaya yang sangat besar yang
perlahan-lahan mulai mendekat. Sekarang aku mengerti bahwa keadaannya sangat
berbahaya. Aku tidak bisa lagi berpikir seperti dulu saat aku bisa jengkel dan marah
jika ada yang mengganggu. Karena pengganggu yang satu ini mengincar sesuatu
yang lebih dari sekedar kemarahanku saja. Nyawa. Tapi ini kedengaran mustahil.
Hanya karena aku menggunakan cadar aku jadi punya harga untuk dibunuh.
“Pernah ada yang menyalahgunakannya untuk
sesuatu yang haram. Perlu kamu tahu. Wilayah ini dikenal dengan peradaban Islam
yang tinggi. Ajaran Islam diwarisi secara turun temurun kepada seluruh
masyarakat. Tidak ada satupun diskriminasi yang terjadi pada orang-orang yang
mendiami daerah ini. Dan tidak akan ada hukum yang berjalan kecuali setelah
diputuskan oleh aturan Islam. Setiap hari hanya ada kedamaian. Semua orang
saling menopang untuk menciptakan tanah Islam yang rukun.” Jelas si pemilik
rumah.
Cerita itu kedengaran mustahil bagiku yang
nyaris mati karena kekejaman masyarakat dari daerah ini.
“Semua berubah setelah kejadian itu.” Lanjutnya
singkat
Aku tersentak. “Kejadian..apa?” Tanyaku
berusaha menyembunyikan kebingungan.
“Kami kedatangan warga baru. Dua orang
perempuan muslimah yang sangat sopan dan baik budinya. Sangat mudah untuk
mereka bisa beradaptasi dengan segala hal yang ada di lingkungan ini. Semua
orang menyegani mereka. Kebaikan budinya membuat kedua orang ini mendapat
tempat khusus dalam kepengurusan masjid. Mereka menikmatinya. Begitu juga semua
warga. Tapi pada akhirnya tidak akan ada kebohongan yang tersembunyi selamanya.
Perlahan-lahan waktu juga yang menunjukkan pada kami kengerian dua orang itu.”
Katanya dengan nada yang agak tidak stabil.
“Kengerian?” tanyaku penasaran.
“Siapa yang tidak akan tertipu dengan sikapnya.
Siang hari mereka begitu anggun dan menjadi buah bibir manis masyarakat.
Tingkahnya dijadikan teladan oleh setiap orang tua yang mendidik anaka-anaknya.
Persis seperti malaikat yang ada dalam imajinasi setiap anak. Tapi sebaliknya,
malam hari mereka menjelma menjadi iblis bejat yang seolah tertawa licik
dibalik kepercayaan kami pada tingkat keimanan mereka. Ini akan terdengar
mustahil di telingamu. Tapi inilah kenyataannya. Fakta mengerikan yang membuat
semua warga desa ini enggan menerima warga baru seperti apapun baiknya mereka.
Apalagi untuk orang seperti kamu. Jangankan untuk berdiam di daerah ini,
melewati jalan ini saja tidak banyak yang selamat.” Jelasnya lebih lanjut.
Aku tidak begitu mengerti apa yang
dikatakannya. Terlalu berbelit-belit. Tapi tidak ada yang bisa kulakukan selain
tetap mendengar penjelasannya.
“Mereka tertangkap basah oleh warga saat membiarkan
beberapa orang pria hidung belang masuk ke rumahnya. Setelah kejadian ini mungkin lebih tepat jika
disebut mengajak. Lebih dari itu, tidak ada seorangpun yang akan
menyangka ada banyak wanita penghibur di dalam rumah itu. Kamu pasti bisa
mengerti apa yang terjadi disana. Warga yang kecewa kehilangan akal sehatnya.
Mereka merasa dipermalukan tepat di depan matanya sendiri. Tidak ada lagi warga
yang mampu berpikir positif setelah melihat kejadian ini dan tidak ada satupun
dari mereka yang berusaha mencegah saat salah satu dari warga yang bertindak
diluar batas normal.”
“Kamu tahu? Pertama kalinya mala petaka besar
menyentuh wilayah ini. Pertama kalinya terjadi tindakan amoral disini. Dan
membantai mereka malam itu juga dirasa wajar sebagai bayaran atas perlakuan
busuk mereka.” Katanya denagn bibir bergetar.
Aku bisa memahami bahwa dia masih menyimpan
kekecewaan malam itu. Akhirnya aku bisa mengerti alasan kenapa semua ini
terjadi. Tidak ada orang yang bisa menerima perlakuan asusila itu.
“Tapi apa hubungan semua ini denganku? Aku
bukan salah satu dari mereka. Kenal saja tidak.” Tegasku padanya karena merasa
ini tidak adil untukku.
Dia hanya menunduk lemah mendengar ucapanku.
“Mereka sama seperti kamu. Begitu sopan, anggun, terlebih keduanya menggunakan
cadar. Penampilan yang sangat menipu. Bahkan untukku yang menaruh hati pada
salah satu diantara mereka. Hanya saja mereka tidak cerewet seperti kamu.”
Jelasnya diiringi senyum kecil yang manis. Yang membuatnya terlihat lebih
tampan dari saat pertama aku bisa melihat wajahnya.
“Lalu kenapa kamu malah cari masalah dengan
membiarkanku tinggal di rumahmu?” Tanyaku penasaran.
“Aku hanya tidak tega melihat orang sekarat
terkapar sendirian di hutan.” Jawabnya tanpa rasa bersalah
Aku terlena mendengarnya. Walaupun terasa
menjengkelkan. Setidaknya sekarang aku tahu apa yang dia rasakan. Tidak mudah
jika kita dikecewakan oleh orang yang kita sukai. Seandainya perempuan itu
mengetahui perasaan orang ini, dia akan menjadi wanita yang beruntung karena
mendapatkan orang sebaik dia. Lelaki yang selalu menundukkan pandangannya.
Sepertinya aku terlalu terbawa perasaan saat mencoba memahaminya. Aku sangat
terkejut saat beberapa orang mendobrak paksa pintu rumah bagian depan. Begitu
juga pemilik rumah. Ternyata mereka adalah kawanan pemburu yang tadi mencurigai
aku ada di rumah ini. Sontak mereka terlihat puas saat tahu memang aku yang ada
dihadapannya. Matanya terlihat seperti mata harimau yang siap menerkam rusa
kecil untuk dijadikan santapan malamnya.
Sekejap pemilik rumah berdiri di hadapanku. Dengan
setengah berbisik dia menyuruhku untuk kabur lewat pintu belakang. Dia mencoba
menjelaskan pada pemburu itu bahwa aku tidak seperti yang mereka perkirakan.
Tapi semua sudah terlambat. Keberadaanku di rumah ini berdua saja bersamanya
layak dijadikan bukti valid untuk menghujani kami dengan fitnahan keji pemburu
itu. Sayangnya, belum sempat aku beranjak salah seorang warga itu sudah berada
tepat di depan pemilik rumah dan memukul perutnya dengan pukulan yang sangat
menyakitkan. Dia roboh seketika warga lainnya berusaha menarikku. Aku menjerit.
Tapi tiba-tiba orang itu tersungkur di kakiku. Ternyata pemilik rumah sengaja
menarik kakinya. Dia bangkit segera seraya mendorong tubuh warga lain agar
jatuh membentur tubuh teman-temannya.
Dengan wajah tegang dan pucat dia gunakan
kesempatan itu untuk menarikku ke pintu belakang agar kami bisa kabur. Walaupun
sebenarnya kami harus siap dengan tamu yang menunggu di pintu belakang. Mereka
tahu bahwa itu jalan satu-satunya untuk kami agar bisa keluar rumah. Kami
dikepung. Beberapa orang yang terlihat masih muda maju ke dalam rumah dengan
mengayunkan celurit tajamnya kearahku. Untung saja si pemilik rumah itu sempat
mendorong kepalaku ke bawah hingga aku selamat dari sabetan celurit itu, tapi
aku kurang beruntung karena dia mendorong terlalu keras. Akibatnya kepalaku
membentur ke tiang pintu. Ups,, sakit.
Pemuda lainnya tidak mau diam saja melihat
temannya gagal membunuhku. Dia mengambil sebuah kayu pemukul yang keras untuk
menghantam kepalaku. Tapi gerakannya terlalu lambat untuk ukuran orang semuda
itu. Dia tidak lebih cepat dari pemilik rumah yang dengan gampang bisa membelah
dua kayu itu tepat di depan wajahku menggunakan celurit yang dia pinjam secara
paksa dari pemuda sebelumnya. Secepat kilat, dia menggunakan tangkai celurit untuk
memukul pundak pemuda itu hingga ia tersungkur ke lantai. Kami berlari ke hutan
belakang rumah secepat mungkin. Secepat yang aku bisa karena aku harus
menyesuaikan langkah dengan kakinya yang sangat cepat.
Hutan itu lebih banyak ditumbuhi oleh semak belukar
yang tinggi dari pada pohon-pohon besar seperti hutan sebelumnya tempat aku
terjatuh dari tebing. Pemilik rumah itu—yang belum kutahu namanya—menyuruhku
berlari di depannya. Sementara di belakangku dia sibuk memperbaiki lagi
semak-semak yang rebah karena terinjak oleh kaki kami. Dia berjalan mundur agar
tidak merusaknya lagi supaya para pemburu tidak tahu jalan yang kami lewati.
Bisa kubayangkan betapa sulitnya melakukan itu. Apalagi malam ini bulan tidak
muncul untuk menerangi langkah kami. Tapi itu lumayan membantu juga agar
pemburu-pemburu yang salah paham itu
kesulitan menemukan kami.
Jauh dibelakang, aku mendengar teriakan
beberapa orang dari pemburu itu yang menjerit kesakitan. Aku menatap pemilik
rumah berharap mendapat penjelasan tentang hal ini. Tapi dia malah memerintahku
untuk tetap berlari dan tidak menoleh ke belakang. Sekarang aku mulai berpikir
bahwa dia telah mempersiapkan semua ini. Jalan kecil di hutan yang seolah sudah
diatur menuju ke satu tempat yang telah diperhitungkannya. Juga jebakan-jebakan
kecil yang akan menyibukkan para pemburu itu selagi kami melarikan diri. Diluar
dugaan, dia orang yang sangat cerdas. Tapi cerdas saja tidak cukup karena sekarang
kami sudah ada di ujung jalan.
Aku khawatir kalau dia kehabisan ide. Tapi memang
begitu kelihatannya. Dia tidak menduga kalau jalan yang dibuatnya akan berakhir
disini. Di depan kami hanya ada jurang terjal yang dibawahnya terdapat banyak
batu-batu besar yang sama mengerikannya dengan para pemburu. Aku mulai putus
asa. Itu wajar, karena dua orang pemburu sudah menemukan persembunyian kami.
Merekalah orang-orang hebat yang sukses besar lolos dari jebakan yang
dihadiahkan khusus untuk mereka. Walaupun sebenarnya itu adalah jebakan yang
biasa digunakan untuk menjebak babi hutan yang sering mengganggu ladang. Begitu
kata pemilik rumah saat melihat tampang kesusahan pemburu itu. Aku heran dia
masih bisa bercanda di saat seperti ini. Dan itu hanyalah tindakan bodoh
sekaligus konyol yang akan memancing emosi para pemburu.
Yap. Benar saja. Tanpa membuang waktu pemburu
yang menggenggam samurai panjang melayangkan pedangnya ke arah pemilik rumah.
Sementara pemburu satunya lagi menggunakan kesempatan itu untuk memukulku
dengan tangkai besi yang disiapkannya. Si pemilik rumah berusaha mendorongku ke
samping agar terhindar dari pukulan setelah dia menangkis samurai itu dengan
kakinya. Tapi tidak banyak yang berubah dengan itu. Pukulan besinya terlalu cepat
dan kuat. Tepat mengenai titik mati lengan kiriku. Aku menjerit kesakitan,
tubuhku kesemutan dan untuk beberapa saat aku tidak bisa merasakan seluruh
tangan kiriku.
Pemburu itu terlihat senang dengan keberhasilan
misinya. Tapi sebaliknya si pemilik rumah mendadak menjadi sangat mengerikan
saat mendengar aku merintih kesakitan. Tidak peduli siapa yang dia hadapi,
tanpa senjata, secepat kilat dia maju menghadang kedua pemburu itu. Satu
tendangan di dada, satu pukulan di perut, dan pukulan siku super keras yang
mengarah langsung ke jantung pemburu yang memukulku. Pemburu itu terperangah
tak sadarkan diri di atas tumpukan semak-semak dengan darah yang menyumbur dari
mulutnya. Dia berhasil merobohkan pemburu itu.
“Aaaaaaghhhh...” Aku menjerit kesakitan. Kali
ini lebih sakit dari yang sebelumnya. Karena pemburu yang masih bertahan
mencengkeram lengan kiriku sekuat yang dia bisa. Aku jadi mati rasa. Tanganku
serasa mau putus.
“Menyerahlah brengsek!! Aku bisa membunuhnya
kapan saja aku mau! Kalian sudah terlalu jauh melampaui batas. Aku tidak pernah
menduga, kamu yang seorang da’i berniat meneruskan jejak iblis-iblis keparat
itu!” Tukas pemburu itu saat dia masih mencengkeram lenganku.
“Lepaskan dia. Dia tidak tahu apa-apa tentang
dendam kalian. Kalian tidak berhak menghukumnya atas dosa yang dilakukan oleh
orang lain hanya karena mereka terlihat sama.” Kata pemilik rumah berharap dia
bisa membujuk pemburu itu
“Mustahil. Apa lagi yang bisa kalian katakan
setelah kami dapati kalian berduaan di rumah itu. Dan lagi, bukankah kamu
mengaku tidak pernah menyembunyikan siapapun di rumahmu? Munafik!! Permainan
kalian berakhir disini. Ini adalah hukum yang ditetapkan oleh desa ini. Hukum
yang sesuai untuk iblis laknat seperti kalian!” pemburu itu kehilangan akal
sehatnya. Dia menarik tanganku ke atas, mencengkeramya sekuat tenaga dan
mencoba memutusnya menggunakan samurai di tangan kirinya.
Aku menjerit kesakitan. Beberapa tetes darah
mengalir dari mulutku. Aku tahu percuma melakukan apapun saat ajal sudah berada
di hadapanku. Tapi untuk terakhir kalinya aku mencoba bermunajat kepada Allah.
Meminta pertolongan terbaik dari-Nya. Setidaknya untuk membiarkanku menghadap
kepada-Nya dalam keadaan husnul khathimah. Hingga aku siap untuk itu. Siap
untuk MATI.
Cipratan darah segar mengalir membasahi wajahku.
Tubuhku menggigil, tidak sanggup melihat kejadian di hadapanku. Tanpa aba-aba
pemilik rumah itu mendorong si pemburu menjauh dari tubuhku. Samurai yang
tadinya ditujukan untuk memutus tanganku malah mengenai tangan pemilik rumah
yang menangkis samurai itu dengan tubuhnya. Untung saja tangannya tidak putus.
Hanya saja goresan samurai itu sempat membuatku merasakan hangatnya darah
seorang da’i muda yang mati-matian melindungi nyawaku. Air mataku mengalir
melihat dirinya yang harus menderita karena kehadiranku dalam hidupnya. Aku
sekarang berpikir jika saja aku biarkan pemburu itu menghabisi nyawaku saat di
danau, mungkin dia tidak perlu merasakan ini semua. Setidaknya tidak akan ada
darah yang mengalir dari tubuhnya. Tidak perlu melindungiku. Sampai akhir
seperti ini.
Aku mengusap air mata yang sudah bercampur
dengan darahnya. Mataku terasa begitu perih akibat darah itu. Aku tidak bisa
melihat begitu jelas. Hanya samar-samar. Aku melihat seseorang berjalan menghampiriku.
Oh tidak. Ya Allah.. pemburu itu berhasil menghabisinya. Bagaimana ini..
dia..dia...
“Apa kamu..berniat.. untuk..mendahului
takdir...Allah..?” tanyanya padaku.
Subhanallah. Dia masih hidup. Dia yang
mengalahkan pemburu itu. Tubuhnya menggigil karena kesakitan. Dari tangannya
darah tidak berhenti mengalir. Begitu juga dengan air mataku. Aku segera
mengambil obat dan perban pemberiannya yang aku sembunyikan di kantongku.
Kuberikan padanya agar bisa digunakan untuk membalut lukanya. Aku merasa sedih
saat melihat dia menahan sakit dari luka ditangannya. Hanya dalam beberapa
hari, aku tidak sanggup lagi menahan perasaan ini. Entah dari mana datangnya,
entah kapan ia mulai muncul. Tapi satu yang aku sadari saat ini. Aku
menyukainya.
Dia bergegas menutup lukanya dengan perban,
sebelum memintaku untuk berhenti menangis. Mungkin dia bisa memahami apa yang
kurasakan. Ketakutan karena merasa nyawa terancam sekaligus rasa bersalah
karena melibatkannya dalam tragedi ini.
“Bertahanlah sebentar lagi. Di bawah sana ada
goa yang terhubung ke jalan raya. Aku sudah meminta sopirmu untuk menunggu
disana. Jangan khawatir, sebentar lagi kamu bisa bertemu dengan ibumu.
Berhentilah menangis.” Ujarnya berusaha menenangkanku.
Aku merasa terhibur mendengar ucapannya. Entah
jurus apa yang dia gunakan, tapi kalimat yang singat itu terasa begitu bermakna
di hatiku. Setelah semua yang terjadi, sudah seharusnya aku mengucapkan terima
kasih pada da’i muda penyelamat jiwaku ini. Tapi belum sempat aku bicara, salah
seorang pemburu tiba-tiba bangun dan melempar pemilik rumah dengan batu.
Sayangnya, lemparan itu terlalu lemah sehingga tidak bisa melukai pemilik rumah
itu. Sebaliknya, kami menyadari bahaya yang masih akan datang jika kami tetap
berdiam di tempat ini.
Pemilik rumah itu menuntunku menuruni tebing
menuju ke rongga goa. Tebingnya sangat terjal dan dipenuhi oleh batu-batu kecil
yang tajam. Beberapa kali aku merintih kesakitan karena kakiku tertusuk ujung
batu itu. Begitu juga dia. Hanya saja dia terlalu cool untuk merintih
sepertiku. Dari bawah tebing kami mendengar kehebohan di atas sana. Suara
beberapa orang yang berteriak memanggil temannya. Seperti memberi aba-aba untuk
melakukan pengejaran ke bawah tebing. Dari sini mulut goa sudah terlihat. Dia
menyuruhku masuk ke dalam goa dengan membawa obor yang sudah disisipkannya di
dinding goa. Berjalan lurus di dalam rongga goa sampai aku bisa melihat jalan
raya. Disana ada sebuah mobil yang menungguku dan akan mengantarku ke pesantren
Al-fitrah. Dia menjelaskan semuanya seraya mengencangkan ikatan perban di
tangannya dan bersiap untuk menyerang.
“Kenapa tidak ikut bersamaku?” Tanyaku serius
“Pergilah! aku akan mencegah mereka. Lagipula
aku adalah salah satu dari mereka. Tidak semudah itu mereka bisa membunuhku.
Cepat pergi selagi mereka belum melihatmu.” Katanya dengan nada yang datar.
“Bukannya lebih baik kalau kita pergi bersama?”
Kataku berusaha meyakinkannya.
“Dengar! Tidak ada waktu untuk itu. Jika kamu
tetap disini, mereka akan dengan mudah membunuhmu. Dan kamu tidak akan pernah
bisa melihat ibumu lagi. Cepat pergi dari sini sebelum aku benar-benar
marah!” Bentaknya
“Paling tidak beri tahu aku siapa namamu?”
Pintaku
Dia terdiam mendengarku menanyakan namanya.
Mungkin tidak pernah terpikir olehnya kalau aku ingin mengenalnya lebih dekat.
“Hafidz. Kamu?” Balasnya
Seketika itu kawanan pemburu berhasil menemukan
tempat kami berada. Dia terkejut dan segera mendorongku untuk masuk ke dalam
goa. Sungguh sangat berat meninggalkannya sendiri disaat seperti ini. Tapi aku
tahu, aku hanya akan jadi beban jika tetap menemaninya bertarung.
“Akan kukatakan namaku saat kamu menemuiku di
pesantren. Berjanjilah kamu akan menyusul.” Ujarku sebagai tanda penginkat agar
dia datang menemuiku. Tapi dia tidak menjawab sedikitpun. Dan itu membuatku
sangat cemas.
“Berjanjilah Hafidz!!” bentakku dengan suara
lantang
“Insya Allah. Tunggulah aku.” Katanya menutup
percakapan terakhir kami malam itu.
Sesuai perintahnya, aku berjalan menyusuri
rongga goa yang bersinar keemasan akibat biasan cahaya obor. Dari dalam goa aku
mendengar suara perkelahian beberapa orang. Aku tahu ini berbahaya untuknya.
Tapi tidak ada lagi yang bisa kulakukan selain mempercayai ucapannya. Bahwa dia
akan datang menemuiku.
Ujung goa mulai terlihat. Ada sebuah mobil pick
up tua di seberang jalan. Disana berdiri seorang laki-laki paruh baya bersama
seorang wanita yang melambaikan tangannya padaku. Ibu. Itu ibu. Aku berlari
menghambur padanya. Kupeluk ibu sekuat yang aku bisa. Tentu saja hanya dengan
satu tangan. Dan saat ibu mulai menangisi keadaanku, saat itulah aku terkulai
tak berdaya. Perlahan menjauh dari alam sadar.
Udara terasa begitu segar. Mentari pagi sengaja
memandikan tubuhku dengan cahayanya. Alam yang indah, gunung yang menjulang
tinggi dan suara kicauan burung yang terdengar seperti melodi yang indah.
Inilah yang kuharapkan. Kehidupan di lingkungan pesantren yang damai bersama
dengan ibu. Hanya saja..
“Kaak... ummi minta kakak ke depan. Katanya ada
yang mencari kakak.” Kata adikku yang sudah berusia sebelas tahun.
Aku berjalan menuju depan rumah. Sama saja
artinya menuju halaman pesantren. Karena rumah ini dibangun tepat di
tengah-tengah jejeran bangunan pesantren. Tujuannya agar pembina pesantren
lebih mudah mengawasi aktifitas setiap santri. Tidak butuh waktu lama untuk
sampai di depan rumah. Dan tidak butuh waktu lama untukku mengenali sosok
pemuda tampan yang duduk tenang bersama dengan kharisma luar biasa yang
hanya dimiliki olehnya. Aku senang
melihat dia ada disini. Itu artinya dia berhasil memenuhi janjinya. Dan itu
artinya sekarang giliranku menepati janji padanya.
“Aku Syifa. Selamat datang di pesantren
Al-fitra, ustadz Hafidz.”